REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Parta Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Gerindra sudah 11 bulan sepakat memutuskan kerja sama melalui Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Tetapi, pengamat politik, Arya Fernandes menilai, PKB masih memiliki pekerjaan rumah (PR) besar.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, memang sudah deklarasi diri sebagai capres. Namun, sampai hari ini, belum ada tanda Prabowo akan mendeklarasikan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, sebagai cawapresnya.
Menurut Arya, penentuan cawapres memang berbeda dari capres. Dibanding capres, cawapres memberikan pilihan yang jauh lebih banyak dan kekuatan antara sosok-sosok potensial sebagai cawapres relatif seimbang.
Muhaimin Iskandar, Sandi Uno, Erick Thohir sampai Andika Perkasa relatif sama dan menyulitkan koalisi parpol untuk memilih. Ada juga faktor veto player yang jauh lebih besar dalam penentuan cawapres, tidak seperti capres.
"Sehingga, veto player yang banyak itu tentu punya political interest, mungkin juga interest dari sisi bisnis yang juga banyak. Itu yang membuat proses penentuan cawapres menjadi rumit," kata Arya, Selasa (1/8/2023).
Untuk PKB dan Gerindra, tentu banyak yang bertanya jika sudah cocok apa alasan belum deklarasi capres-cawapres. Arya menduga, mungkin Prabowo belum terlalu yakin sosok Muhaimin mampu menaikkan suara dan kompetitif.
Gerindra belum yakin pula PKB akan 100 persen bersama Gerindra. Sebab, PKB turut membangun komunikasi dengan PDIP, Puan dan direncanakan temui Megawati. Itu membuat Gerindra merasa jangan-jangan PKB main dua kaki.
"Kalau PKB bisa meyakinkan Prabowo kalau potensi elektoral ada dan PKB yakin bersama Gerindra mungkin koalisi akan lebih cepat diumumkan," ujar Arya.
Namun, Kepala Departemen Politik CSIS itu menuturkan, dari sisi internal PKB relatif tidak memiliki isu dan pilihan capres-cawapres tidak menimbulkan gejolak berarti. Kondisi yang kerap dijumpai dari partai-partai lainnya.
PKB, lanjut Arya, relatif solid dari sisi elite maupun pemilih tentang siapa capres yang akan didukung pada akhirnya. Menurut Arya, Prabowo maupun Ganjar seimbang dan tidak berpotensi timbulkan konflik internal.
"Yang perlu dipertimbangkan risiko, faktor resiko menentukan bagaimana Cak Imin akan memilih. Bagaimana hubungan dengan Presiden (Jokowi), apa akan membaik atau memburuk kalau Cak Imin memilih Prabowo atau Ganjar," kata Arya.