REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR, – Pada 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa di Kuala Lumpur. Acara ini menjadi sorotan publik karena melibatkan sosok-sosok bersejarah seperti Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Sarwo Edhie Wibowo, Marsinah, dan Mochtar Kusumaatmaja.
Penganugerahan ini menarik perhatian karena kelima tokoh tersebut memiliki peran yang berbeda dalam sejarah Orde Baru. Soeharto, yang memimpin Indonesia selama lebih dari 32 tahun, dikenal dengan visinya untuk stabilitas dan pembangunan ekonomi. Di sisi lain, Gus Dur adalah simbol pluralisme dan demokrasi yang tidak tunduk pada kekuasaan Orde Baru.
Sarwo Edhie Wibowo, sebagai tokoh militer, berperan penting dalam pemulihan keamanan pasca peristiwa G30S/PKI. Sementara itu, Marsinah menjadi ikon perjuangan hak-hak buruh yang tewas tragis dalam memperjuangkan keadilan. Mochtar Kusumaatmaja, sebagai Menteri Luar Negeri, memperjuangkan konsep archipelagic state yang diakui dunia.
Rekonsiliasi Simbolik
Pemberian gelar ini mencerminkan semangat rekonsiliasi yang diusung Presiden Prabowo, menunjukkan penghargaan terhadap berbagai peran dalam membangun bangsa. Pemerintah ingin menegaskan bahwa sejarah Indonesia adalah hasil dari dialog antara kekuasaan, kritik, dan kemanusiaan.
Penghargaan ini juga mengingatkan bahwa sejarah bangsa tidak hanya terbentuk dari tindakan di medan perang, tetapi juga dari keberanian moral, kebijaksanaan, dan visi diplomatik. Seperti yang dikatakan sejarawan Sartono Kartodirdjo, sejarah adalah rekonstruksi yang bersifat selektif dan interpretatif.
Dengan menganugerahkan gelar ini, bangsa diingatkan untuk belajar dari masa lalu, bahwa kekuatan sejati lahir dari dialog antara kekuasaan, moral, dan kemanusiaan.
Konten ini diolah dengan bantuan AI.