Senin 31 Jul 2023 11:45 WIB

Soal Polemik Kasus Kepala Basarnas, Jokowi: Hanya Masalah Koordinasi

Presiden Jokowi sebut polemik kasus Kepala Basarnas hanya masalah koordinasi.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sebut polemik kasus Kepala Basarnas hanya masalah koordinasi.
Foto: Republika/Dessy Suciati Saputri
Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sebut polemik kasus Kepala Basarnas hanya masalah koordinasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tanggapannya soal polemik penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto dalam kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Menurut Jokowi, polemik itu terjadi hanya karena masalah koordinasi.

"Ya itu menurut saya masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus dilakukan," kata Jokowi usai peresmian Sodetan Ciliwung di Jatinegara, Jakarta Timur, Senin (31/7/2023).

Baca Juga

Ia menegaskan, semua instansi harus bekerja sesuai kewenangannya masing-masing. Jika hal itu dilakukan, masalah ini akan selesai.

"Semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing, menurut aturan, udah. Kalau itu dilakukan, rampung," ujarnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui ada kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya mana kala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

Johanis mengatakan, berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 mengatur sistem peradilan di Indonesia ada empat, yakni peradilan militer, peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. Dia menyebut, karena dalam kasus ini melibatkan prajurit aktif TNI, maka harus diserahkan kepada pihak militer.

"Ketika ada melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer. Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan," ujarnya. 

Johanis menambahkan, karena kasus ini melibatkan anggota aktif TNI, maka penanganannya dapat dilakukan secara koneksitas antara KPK dan Puspom TNI, maupun ditangani sendiri oleh pihak militer.

"Kami lagi berkoordinasi nantinya bagaimana yang terbaik untuk kedua lembaga demi bangsa dan negara dalam penanganan perkara korupsi," jelas Johanis.

Adapun KPK juga menetapkan tiga tersangka lainnya sebagai pemberi suap, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA).

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, penetapan status tersangka itu dilakukan setelah pihaknya mengantongi bukti yang cukup. Dalam kasus ini, Henri diduga mendapat fee 10 persen dari berbagai proyek di Basarnas sejak 2021-2023. Dia mengantongi uang suap hingga mencapai Rp 88,3 miliar.

Henri menentukan langsung besaran fee tersebut. Uang yang diserahkan disebut sebagai dana komando atau dako. Rinciannya, Mulsunadi memerintahkan Marilya menyerahkan duit sebesar Rp 999,7 juta di parkiran salah satu bank di Cilangkap. Sedangkan dari Roni menyerahkan Rp 4,1 miliar dari aplikasi setoran bank.

“Atas penyerahan sejumlah uang tersebut, perusahaan MG, MR, dan RA dinyatakan sebagai pemenang tender,” ungkap Alex, Rabu (26/7/2023). 

Uang suap itu diserahkan kepada Henri melalui orang kepercayaannya, yakni Afri. KPK dan Puspom TNI pun masih akan mendalami dugaan adanya pemberi suap lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement