Senin 10 Jul 2023 15:22 WIB

PPDB Kacau, JPPI: Pemerintah Tanggung Jawab, Bukan Sibuk Cari Kesalahan Orang Tua

Anak harusnya diundang bukan berebut daftar sekolah yang potensi gagalnya besar.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Fuji Pratiwi
Para orang tua menggelar aksi mengkritisi aturan  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023/2024.
Foto: Dok Republika.co.id
Para orang tua menggelar aksi mengkritisi aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023/2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), bukan justru sibuk mencari kesalahan orang tua yang sebenarnya tengah berupaya memperoleh hak pendidikan bagi anak-anaknya. Sistem seleksi PPDB saat ini berlangsung dinilai tidak adil dan melanggar amanat konstitusi.

"Kita sepakat bahwa kecurangan itu tidak boleh dilakukan, tapi bagaimana dengan kesengajaan pemerintah melepas tanggung jawab soal pendidikan?" ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, lewat keterangannya, Senin (10/7/2023).

Baca Juga

Kata Ubaid, mendapatkan akses ke sekolah adalah hak semua warga negara Indonesia. Pemerintah harus memastikan itu, bukan malah melakukan seleksi yang menghasilkan ada yang lolos dan ada yang gagal.

Ubaid mengatakan, sistem seleksi PPDB saat ini tidak berkeadilan dan sudah jelas melanggar amanat konstitusi. Pada pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan pasal 34 ayat 2 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), kata dia, jelas termaktub pemerintah berkewajiban untuk memberikan jaminan dan kepastian semua anak Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkeadilan. Tapi, saat ini jaminan itu tidak ada.

"Nah, sekarang jaminan itu tidak ada, yang ada malah jaminan mayoritas pendaftar tidak lulus seleksi, karena jumlah kursi sekolah negeri tak sebanding dengan jumlah pendaftar," kata Ubaid.

Karena itu, dia menilai, orang tua berhak untuk menggugat pemerintah dan pihak sekolah. Berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

"Kebijakan sistem seleksi ini jelas melanggar konstitusi, dan juga menimbulkan banyak kerugian yang dialami oleh siswa dan orang tua, maka orang tua berhak untuk mengajukan gugatan di meja hijau," kata dia.

Ubaid kemudian merekomendasikan agar sistem seleksi PPDB diganti dengan sistem undangan. Menurut dia, dengan adanya data jumlah anak usia sekolah, yang lulus jenjang SD, SMP, dan SMA semestinya mereka langsung diberikan undangan untuk bisa lanjut sekolah, bukan justru diminta berebut bangku sekolah dengan kemungkinan rata-rata kegagalannya 60 persen di tingkat SMP dan 70 persen di tingkat SMA.

"Contoh sederhananya adalah seperti terjadi saat musim pemilu, semua rakyat dapat undangan untuk memberikan suara di TPS, jadi tidak perlu lagi seleksi masuk TPS, karena semua punya hak yang sama," kata Ubaid.

Menurut dia, PPDB sistem undangan bisa diterapkan berbasis hak anak berdasarkan zonasi dan pemerataan kualitas sekolah. Agar semua terjamin bisa mendapatkan sekolah yang layak, tentu pemerintah harus melibatkan swasta karena daya tampung negeri yang terbatas, yakni hanya mampu menampung sekitar 40 persen di SMP dan 30 persen di SMA dari total kebutuhan.

Penerapan ini, mensyarakatkan dua hal utama. Pertama, kesepakatan pemerintah dan swasta soal pembiayaan yang mesti ditanggung pemerintah. Kedua, pemerataan kualitas supaya tidak terjadi penumpukan di sekolah-sekolah tertentu yang dianggap favorit atau unggulan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement