Kamis 06 Jul 2023 14:41 WIB

Kemenkes Sebut Kasus Antraks di Gunung Kidul Bisa Dikategorikan KLB

Bakteri dari hewan terinfeksi di Gunung Kidul sudah membentuk spora di tanah.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Agus raharjo
Petigas Babinsa melakukan sosialisasi bahaya antraks di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Warga rutin melakukan sterilisasi kandang ternak usai kasus kematian warga karena mengonsumsi daging sapi  yang mati dan terkena antraks. Menurut Balai Besar Veterinari (BBVet) Wates ada 12 ekor hewan ternak di Dusun Jati yang terkena antraks, enam ekor kambing dan enam ekor sapi. Dari kejadian ini sebanyak 87 warga positif terjangkit antraks dan satu diantaranya meninggal dunia.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petigas Babinsa melakukan sosialisasi bahaya antraks di Pedukuhan Jati, Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Warga rutin melakukan sterilisasi kandang ternak usai kasus kematian warga karena mengonsumsi daging sapi yang mati dan terkena antraks. Menurut Balai Besar Veterinari (BBVet) Wates ada 12 ekor hewan ternak di Dusun Jati yang terkena antraks, enam ekor kambing dan enam ekor sapi. Dari kejadian ini sebanyak 87 warga positif terjangkit antraks dan satu diantaranya meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan, penyebaran antraks di Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunung Kidul, sebenarnya sudah bisa disebut sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pasalnya, kata dia, sudah ada beberapa kematian yang disebabkan oleh bakteri B.anthracis yang bersifat zoonosis.

“Terkait KLB, jadi ini kalau secara definisi sudah bisa disampaikan ya, karena ada kematian,” kata Imran dalam konferensi pers daring di Jakarta, Kamis (6/7/2023).

Baca Juga

Namun demikian, dia menyinggung adanya kewenangan pemerintah daerah untuk memutuskan status tersebut. Di lokasi yang sama, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Nuryani Zaenuddin, mengatakan, antraks di Indonesia memang telah terjadi sejak 1884.

Apalagi, setiap tahun memang terjadi beberapa kasus sporadis endemis pada daerah tertentu. “Sehingga, saat ada faktor risiko, spora antraks akan aktif dan menginfeksi kembali,” kata Nuryani.

Khusus kasus di Gunung Kidul, kata dia, juga ada di 2019 dan tidak bisa dilakukan pembebasan wilayah mengingat sudah diidentifikasikan sebagai daerah endemis antraks. Dia menjelaskan, bakteri dari hewan terinfeksi di Gunung Kidul sudah membentuk spora di tanah.

“Jadi hanya bisa dikendalikan. Saat endemis antraks tidak dilakukan penanganan secara baik di tanah, lingkungan, maka ini akan terus berlanjut kasusnya,” tutur dia.

Atas dasar itu, pihaknya berencana untuk memperbanyak alokasi vaksin di Gunung Kidul dari buffer stock pusat sebanyak 110 ribu, selain jatah tahunan DIY dan Jawa Tengah. Lebih lanjut, pihak dia juga akan melakukan investigasi dan penelusuran kasus pada ternak.

“Kemudian penyuntikan antibiotik pada semua hewan rentan di daerah tertular,” tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement