Jumat 30 Jun 2023 18:55 WIB

Pengamat: Polri Harus Antisipasi Ujaran Kebencian Jelang Pemilu 2024

Pengamat sebut Polri harus mengantisipasi ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi ujaran kebencian di medsos. Pengamat sebut Polri harus mengantisipasi ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024.
Foto: Pixabay
Ilustrasi ujaran kebencian di medsos. Pengamat sebut Polri harus mengantisipasi ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat intelijen dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro menyebutkan, Polri harus mengantisipasi penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan fitnah dengan bungkus politik identitas sejak awal. Hal itu perlu dilakukan dalam menyongsong Pemilu Serentak 2024 mendatang.

“Harus diantisipasi sejak awal oleh Polri. Apalagi dengan dibumbui isu-isu agama. Jangan sampai timbul polarisasi dan situasi memanas seperti yang terjadi pada Pemilu 2019," ujar pria yang kerap disapa Simon itu dalam keterangannya, Jumat (30/6/2023).

Baca Juga

Simon mengatakan, saat ini penggunaan media sosial sekarang sangat masif. Sebab itu dia menilai penyebaran disinformasi, berita hoax dan agitasi yang mengarah pada polarisasi masyarakat pada Pemilu 2024 sangat berpeluang untuk dilakukan.

Faktor utama yang menyebabkan politik identitas kerap digunakan, kata dia, yakni adanya pemahaman yang belum tuntas untuk menjaga toleransi dan eksistensi tiap identitas di NKRI. Kemudian, rendahnya literasi digital masyarakat dan kecerobohan atau kesengajaan individu atau elite politik tertentu dalam berkomunikasi yang menyinggung psikologi massa.

“Tapi saya percaya, Polri dalam hal ini telah mengantisipasi dengan berbagai tindakan pencegahan dan pelayanan publik, baik yang bersifat proaktif maupun penerimaan aduan dari masyarakat," jelas dia.

Simon menyampaikan, tantangan besar yang dihadapi Polri pada 2023 cukup nyata, apalagi menghadapi tahun politik dan pesta demokrasi serentak 2024. Pertama, maraknya hoax yang dibungkus dengan politik identitas jelang Pemilu 2024.

Kedua, memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri pasca kasus Ferdy Sambo, tragedi di Stadion Kanjuruhan, dan kasus Teddy Minahasa. Dan ketiga, bagaimana Polri memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan perkembangan Police 4.0 untuk peningkatan pelayanan masyarakat.

Semua itu dia sampaikan dalam rangka soft launching karya buku yang ditulisnya dengan judul ‘Polri Presisi, Polri Mengabdi: Reformasi Polri di Era Digital Society’. Dia mengatakan, kepolisian yang kuat adalah salah satu prasyarat untuk membangun Indonesia Emas di masa mendatang.

Dalam pandangan Simon, beragam inovasi pelayanan Polri dapat dioptimalkan untuk tujuan antisipasi hal-hal di atas. Sebagai contoh, Polri memiliki program Dumas Presisi online, program 'Jumat Curhat', call center 110, SuperApp Presisi Polri dan patroli siber.

Program-program tersebut dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengidentifikasi, menjaring persoalan, membongkar kasus yang muncul, maupun pengaduan lainnya di masyarakat.

“Sebagai pengamat dan akademisi saya melihat keseriusan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dengan visi 'Polri Presisi' mengembalikan peran dan fungsi Polri di tengah masyarakat,” kata Simon.

Buku itu, kata dia, ditulis dengan tujuan untuk melihat pengembangan pelayanan kepolisian dan efektifitasnya di tengah masyarakat. Buku ini diterbitkan dalam rangka memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan visi “Polri Presisi” dan HUT Bhayangkara ke-77.

Buku itu memberikan perspektif dan pandangan yang menyeluruh terhadap implementasi “Polri Presisi,”  pada bidang organisasi, operasional, pelayanan publik dan pengawasan sehingga dapat digunakan sebagai masukan untuk penguatan institusi kepolisian dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement