REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan, hampir 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial (medsos). Meski medsos banyak mendatangkan manfaat, namun derasnya arus informasi juga menyimpan risiko yang sangat serius, yaitu beredarnya hoax atau berita bohong.
Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah, Nasrullah menjelaskan, berangkat dari kesadaran perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan keniscayaan dan harus disyukuri. Hal itu imbas dari berkembangnya internet dan media sosial.
Karena itu, PP Pemuda Muhammadiyah terus melakukan edukasi terkait literasi digital, seperti identifikasi potensi penyebaran hoax, khususnya pada tahun Pemilu 2024. "Kita akan coba lakukan klasifikasi konten hoax melalui media ketika misalnya ada potensi hoax yang kita lihat kita coba membangun opini juga jadi istilahnya ada perang opini lah," kata Nasrullah di Jakarta, Jumat (23/6/2023).
Menurut dia, persoalan penyebaran berita bohong wajib ditangani secara serius. Hal itu lantaran jika ada yang mempercayai hoax maka bisa mengganggu kerukunan beragama.
"Kita coba merumuskan langkah strategis dari segi hukum menghadapi potensi pelanggaran terhadap larangan penyebaran hoax yang berpotensi mengganggu persatuan anak bangsa anak bangsa," ucap Nasrullah di acara Obral-Obrol liTerasi Digital (OOTD) bertema 'Pintar Kebal Hoaks'.
Fact Checker Spesialis Mafindo, Aribowo Sasmito menyampaikan, high season berita bohong beredar saat menjelang dan selama ‘musim politik’. Karena itu, melindungi perangkat digital atau gawai dengan ekstra juga perlu dilakukan, seperti menggunakan aplikasi tambahan agar tak menjadi sasaran hoax.
Ari menilai, pesan hoax dapat menggiring pada kejahatan siber lainya, dan yang paling sering terjadi adalah phising, atau penipuan yang dicirikan dengan percobaan untuk mendapatkan informasi yang sensitif, seperti kata sandi dan kartu kredit. Hal itu jika menimbulkan korban karena bisa menimbukan kerugian finansial maupun juga psikis.
Ketua Umum Sobat Cyber Indonesia, Virna Lim menyampaikan, sasaran empuk berita bohong tak hanya anak muda, tapi juga orang tua, terutama kaum perempuan. Hal itu terjadi karena perempuan seringkali mudah terbawa perasaan.
"Bahwa kita perlu banyak sekali memfilter dan juga meningkatkan literasi lagi karena sebenarnya literasi itu menuntut kita untuk mencari kebenaran dari suatu konten dan ini juga dampaknya sangat berbahaya sekali baik dari jejak digital kita baik tadi mau cari kerja mau cari jodoh," ujar Virna.