REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pers mengingatkan para pekerja media tentang pentingnya kontrol manusia di tengah disrupsi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Ia mengakui, penetrasi AI begitu pesat dalam berbagai bidang, termasuk jurnalisme. Bagaimanapun, produk-produk jurnalistik tetap memerlukan pertimbangan dari subjek orang, bukan mesin.
"Bahwa produk jurnalistik, nomor satu adalah harus ada kontrol manusia," ujar Ketua Komisi Kemitraan, Hubungan Antarlembaga dan Infrastruktur Dewan Pers, Rosarita Niken Widiastuti, saat menjadi pemateri dalam acara literasi media tentang AI di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Menurut Niken, AI bisa memperingan pelbagai pekerjaan dalam dunia jurnalistik, seperti mempersingkat waktu kerja, meningkatkan efisiensi produksi konten, serta mendukung analisis data. Namun, ia mengingatkan, mesin tersebut adalah alat untuk membantu bekerja sehingga tidak bisa menggantikan tugas seorang jurnalis.
"Manusia (jurnalis) harus mengawasi dari awal sampai akhir produksi," kata Niken.
Meskipun beberapa pekerjaan jurnalistik terbantu oleh AI, verifikasi data tetap harus dilakukan oleh insan jurnalis. Hal itu bertujuan memastikan keakuratan informasi yang akan dipublikasikan.
"Apakah betul narasumber bicara begitu? Jangan sampai pakai (konten) deepfake untuk produk jurnalistik," ucap Niken.
AI adalah mesin canggih yang dilatih oleh manusia dengan data dalam jumlah yang sangat besar. Oleh karena itu, mesin ini tetap bisa salah atau memberikan informasi yang bias. Sebab, cara kerjanya bergantung pada data yang diberikan oleh sosok trainer.
Jika orang yang menjadi pelatih itu memberikan informasi yang salah kepada mesin, AI pun akan memberikan jawaban yang salah. "Di sinilah peran kita jurnalis untuk selalu cek dan ricek," kata Niken.
Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik yang diterbitkan untuk menjaga martabat pers dan menjadikan etika serta profesionalisme sebagai panduan di tengah disrupsi AI.
Selain menekankan pada kontrol jurnalis manusia terhadap produk jurnalistik dan verifikasi informasi, peraturan Dewan Pers tentang AI juga menekankan pada transparansi. Jika sebuah karya melibatkan AI, misalnya penggunaan gambar atau suara yang dibuat oleh AI, maka perusahaan pers harus memberikan keterangan yang jelas.