REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo memberikan arahan kepada seluruh jajaran tingkat pusat maupun wilayah untuk berani menyampaikan pesan dan mengingatkan para peserta Pemilu 2024 agar menjaga persatuan dan kesatuan dan tidak mengorbankan masyarakat karena perbedaan hasil pemilihan.
"Setiap saat kita bertemu dengan para calon-calon pemimpin nasional selalu kita ingatkan jangan korbankan rakyat. Jadi rekan-rekan harus berani menyampaikan hal yang sama kepada teman-teman rekan-rekan yang mungkin nanti ikut dalam kontestasi," kata Sigit saat memberikan pengarahan dalam kegiatan Upacara Wisuda STIK Tahun Ajaran 2023 di Lemdiklat Polri, Jakarta yang disaksikan lewat tayangan YouTube, Rabu.
Sigit memaparkan bagaimana kondisi bangsa saat pemilu serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2019. Terdapat 5.175 petugas TPS sakit, dan 894 orang meninggal termasuk di dalamnya anggota polisi.
Oleh karena itu, jenderal bintang empat itu mengingatkan agar Pemilu 2024 ini dipersiapkan dengan baik, jangan sampai kejadian di Pemilu 2019 kembali terulang. "Perbedaan boleh ada, namun persatuan kesatuan tetap harus dijaga," ujarnya.
Mantan Kabareskrim Polri itu mengatakan polarisasi setelah Pemilu 2019 masih terasa hingga sekarang. Padahal sebelumnya, Indonesia adalah negara dengan polarisasi paling rendah di Asia Tenggara.
Hal itu bisa dilihat di media sosial, julukan cebong, kampret dan kadrun masih bergema, entah apa lagi yang muncul tahun ini.
Menurut Sigit, di tingkat masyarakat di akar rumput polarisasi itu masih terjadi, hal ini berbeda di tingkat elit politik, di mana situasi dapat berubah cepat, sebelumnya saling serang, sejurus kemudian berbaikan.
"Kalau rekan-rekan lihat di medsos ada cebong, ada kampret ada kadrun, terus sekarang apa lagi? jadi itu terus terjadi di grassroots. Mungkin di elit itu segera mudah hari ini berantem besok salaman, rangkul-rangkulan, tapi di bawah tidak," katanya mengingatkan.
Mantan Kapolda Banten itu mengatakan bahwa dinamika perpolitikan seperti di atas tanpa disadari mengorbankan nilai-nilai di masyarakat Indonesia yang dikenal ramah, persaudaraan yang tinggi, menghormati keberagaman, menjaga persatuan dan kesatuan, hal itu mulai luntur.
Oleh karena itu, Sigit mengharapkan apa yang terjadi di 2019 tidak terjadi di Pemilu 2024, terlebih dengan adanya penambahan jumlah provinsi dari 34 menjadi 38, jumlah penduduk, dan jumlah partai politik peserta pemilu.
Orang nomor satu di kepolisian itu berpesan di tahun politik ini agar semua pihak mempersiapkan diri sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, bahwa pemilu yang akan dilaksanakan adalah pemilu serentak.
"Saya ingatkan teman-teman di KPU tolong persiapkan petugasnya betul-betul yang kesehatannya memenuhi syarat, sehingga tidak menimbulkan masalah," katanya.
Sigit menambahkan, keberhasilan Pemilu 2024 akan menjadi titik persimpangan, karena Indonesia menghadapi bonus demografi. Dengan pemilu yang berhasil akan menjadi lompatan maju, tapi sebaliknya, jika gagal maka Bangsa Indonesia mundur ke belakang. "Apa yang sudah kita raih sampai saat ini sia-sia," paparnya.
Untuk itu, mantan Kadiv Propam Polri itu mengingatkan seluruh jajarannya untuk berperan menjadi sistem pendinging (cooling system) dalam panasnya situasi perpolitikan saat ini. Lewat cara menjalin kerja sama dengan tokoh-tokoh adat, tokoh agama untuk saling mengingatkan bahwa berpolitik harus dengan baik walaupun nantinya terjadi penggunaan politik identitas, kampanye hitam, hoaks dan sebagainya, hal itu harus dijaga agar perbedaan tidak memecah belah bangsa dan merugikan masyarakat.
"Perbedaan boleh ada, yang namanya satu keluarga juga tidak ada yang sama. Pasti masing-masing memiliki perbedaan. Namun jangan juga karena perbedaan itu membuat permusuhan, itu yang selalu kita ingatkan," kata Sigit.