REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah organisasi pemantau pemilu memperkirakan gelaran Pemilu 2024 bakal terganggu atau buyar apabila pemerintah memberhentikan belasan ribu tenaga honorer, yang bekerja di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada akhir November 2023 mendatang.
Masalahnya lagi, pemerintah belum punya solusi atas persoalan mendesak tersebut. Prediksi itu disampaikan salah satunya oleh Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), organisasi pemantau pemilu yang terakreditasi di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
"Jika belasan ribu tenaga honorer harus berakhir masa tugasnya, penyelenggaraan dan pengawasan tahapan pemilu berpotensi terganggu," kata Direktur DEEP Neni Nurhayati kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
KPU RI, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota total punya 7.551 tenaga honorer. Sedangkan Bawaslu di setiap tingkatan total memperkerjakan sekitar 7.000 pegawai honorer. Adapun Pemerintah telah menetapkan batas akhir penghapusan semua tenaga honorer, yakni 28 November 2023.
Neni menjelaskan, 28 November 2023 merupakan hari pertama pelaksanaan tahapan masa kampanye Pemilu 2024. Pada saat bersamaan, KPU melaksanakan tahapan krusial lainya seperti menyiapkan dan mendistribusikan logistik pemilihan. Begitu pula Bawaslu yang akan intens melakukan pengawasan mulai November.
Neni mengatakan, apabila 7.000 lebih tenaga honorer KPU diberhentikan atau di-PHK pada akhir November, maka para komisioner KPU RI hingga KPU kabupaten/kota tidak mungkin bisa optimal melaksanakan tahapan pemilu. Sebab, kehilangan ribuan sumber daya manusia (SDM) saat masa puncak pelaksanaan pemilu, tentu akan mengganggu persiapan dan pelaksanaan setiap tahapan.
Kinerja Bawaslu RI hingga Bawaslu kabupaten/kota, lanjut dia, juga akan terganggu. Kehilangan sekitar 7.000 SDM tentu akan membuat Bawaslu hanya punya sedikit petugas untuk mengawasi berbagai bentuk pelanggaran saat masa kampanye seperti praktik politik uang, politisasi SARA, dan ASN tidak netral.
Selain itu, keberadaan tenaga honorer di sekretariat Bawaslu di setiap tingkatan merupakan ujung tombak untuk mengelola administrasi laporan dan temuan dugaan pelanggaran. Ketika mereka diberhentikan massal, tentu staf PNS akan kewalahan bekerja.
"Pada akhirnya, Bawaslu disibukkan menyelesaikan permasalahan internal di kesekretariatan. Padahal, ada yang lebih substansial untuk dilakukan, yakni mengawasi peserta pemilu," kata Neni kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Pendapat serupa disampaikan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), sebuah organisasi pemantau pemilu yang juga terakreditasi di Bawaslu RI. "Kebijakan penghapusan tenaga honorer di tengah tahapan pasti akan berimplikasi terhadap kinerja penyelenggara yang juga memengaruhi kualitas pemilu yang demokratis," kata Koordinator JPPR Nurlia Dian Paramita.
Mita menjelaskan, belasan ribu tenaga honorer di KPU dan Bawaslu itu sangat dibutuhkan karena mereka sudah berpengalaman melaksanakan pemilu maupun pilkada sebelumnya. Mereka juga telah mendapatkan banyak pelatihan untuk memahami kerumitan dan melaksanakan tahapan Pemilu 2024.
Andaikata pemerintah mengganti para honorer itu dengan meminjamkan ASN dari lembaga lain, menurut dia, tentu SDM baru itu butuh waktu memahami kerja-kerja lembaga penyelenggara pemilu dan berbagai tahapan pemilu.
JPPR dan DEEP punya solusi sama untuk mengatasi persoalan SDM di lembaga penyelenggara pemilu ini. Keduanya meminta Pemerintah menunda penerapan kebijakan penghapusan tenaga honorer bagi pegawai non-ASN di lingkungan KPU dan Bawaslu sampai gelaran Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 usai pada awal tahun 2025 mendatang.
"Setidaknya Pemerintah dapat membuat suatu kebijakan khusus yang dapat mempertimbangkan keberadaan tenaga honorer di lingkungan penyelenggara pemilu, setidaknya selama pelaksanaan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024," kata Mita.
Belum ada solusi
Komisioner KPU RI Parsadaan Harahap pada Selasa (20/6/2023) mengatakan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Pemerintah terkait persoalan tenaga honorer ini. Pihaknya ingin para honorer KPU bisa diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau CPNS.
"Pada prinsipnya, tahapan pemilu harus tetap berjalan sesuai jadwal yang sudah ada, dengan ketersediaan SDM KPU yang ada saat ini," kata Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi, Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian Pengembangan KPU RI itu.
Sedangkan Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan, ketika sekitar 7.000 tenaga honorer di lembaganya di-PHK, maka di setiap Bawaslu kabupaten/kota hanya akan tersisa delapan atau 10 PNS. Dengan jumlah pegawai yang amat minim, tentu tidak mungkin Bawaslu bisa mengarahkan mereka untuk membantu masa kampanye Pemilu 2024.
Bagja mengaku telah mengirimkan surat kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Azwar Anas untuk memastikan apakah pegawai honorer Bawaslu akan ikut dihapuskan atau tidak. Surat dikirimkan sekitar beberapa bulan yang lalu. Namun, hingga kini belum ada balasan.
Bagja berharap, pemerintah memberikan solusi agar lembaganya tidak kehilangan ribuan SDM. Dia ingin pemerintah mengangkat para tenaga honorer menjadi PPPK atau mencarikan solusi lain yang tak mengakibatkan ribuan orang itu kehilangan pekerjaan. "Kita ingin teman-teman (honorer) ini diselamatkan karena mereka sudah berjuang sejak tahun 2018 atau 2019," kata Bagja.
Merespons keluhan Bagja itu, Menpan-RB Abdullah Azwar Anas menyebut pihaknya sedang menyiapkan solusi jalan tengah untuk mengatasi persoalan tenaga honorer ini. Sebab, saat ini total ada 2,4 juta tenaga honorer di semua instansi di seluruh Indonesia. Adapun Peraturan Pemerintah (PP) sudah mengamanatkan agar keberadaan tenaga honorer dihapus total pada 28 November 2023, atau lima bulan dari sekarang.
Azwar menjelaskan, solusi jalan tengah itu akan berupa kebijakan yang menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah masif terhadap tenaga honorer. Pada saat bersamaan, solusi jalan tengah itu menghindari pembengkakan penggunaan anggaran negara untuk membayar gaji pegawai.
"Nanti akan ada kebijakan. Termasuk afirmasi kebijakan tidak boleh ada PHK massal, tapi tidak ada pembengkakan anggaran. Kita mencarikan solusi jalan tengah," kata Azwar, Senin (19/6/2023).