REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Selokan Mataram, kanal irigasi sepanjang 30,8 km di Yogyakarta ini bukanlah sekadar saluran irigasi biasa. Keistimewaan kanal legendaris yang mengaliri areal pertanian seluas 15.734 hektare tersebut telah merekam cerita bersejarah tentang seorang raja yang sangat mencintai rakyatnya.
Hal tersebut diwujudkan sang raja dengan siasat cerdik berupa diplomasi untuk menyelamatkan rakyatnya dari kerja paksa romusha yang digulirkan Pemerintah Jepang waktu itu. Adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Keraton Yogyakarta yang mempunyai siasat cerdik mengusulkan pada Jepang agar rakyatnya dikerahkan untuk membangun saluran irigasi. Saluran irigasi ini untuk menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak.
Dengan dalih mampu menyetor lebih banyak hasil bumi sebagai logistik, usulan itu diterima bahkan didanai Jepang lalu dibangun pada 1944. Meskipun rakyat harus mengerjakan proyek saluran air buatan tersebut, setidaknya mereka tidak meninggal akibat kelaparan dan romusha. Akhirnya, ribuan rakyat dikerahkan untuk membuat saluran irigasi yang membelah Yogyakarta ini dengan sukarela.
Seperti diceritakan langsung oleh pelaku sejarah dan saksi hidup pembangunan Selokan Mataram bernama Tuban Cokro Sudarmo yang disapa Mbah Cokro. Kakek berusia hampir seabad ini, kini hidup sebatang kara di sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah di Dusun Pedak Sinduharjo Ngaglik Sleman.
Ingatan Mbah Cokro masih sangat jelas, usianya 25 tahun kala itu. Ia bersama setidaknya 10 orang sepantaran dirinya diminta Lurah setempat kerja bakti membantu saluran irigasi atas perintah Sultan HB IX. Ia pun tahu jika tidak ikut kerja bakti membuat selokan, dirinya akan hilang di bawa Jepang untuk kerja romusha di tempat lain. Hampir seluruh teman-temannya yang dipekerjakan romusha tidak pernah kembali dalam keadaan hidup.