Rabu 31 May 2023 06:09 WIB

Aktivis Minta Pelaku Pemerkosa Anak di Parigi Dihukum Mati

Vonis mati predator anak Herry Wirawan dapat menjadi yurisprudensi bagi penegak hukum

Rep: Ali Mansur/ Red: Friska Yolandha
Kekerasan seksual pada anak. Aktivis meminta pelaku kekerasan seksual pada anak di Parigi Moutong, Silawesi Tengah, dihukum mati.
Foto: Unsplash
Kekerasan seksual pada anak. Aktivis meminta pelaku kekerasan seksual pada anak di Parigi Moutong, Silawesi Tengah, dihukum mati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis perlindungan anak, Fahira Idris menyoroti kasus kekerasan seksual massal yang dilakukan 11 orang terhadap seorang remaja putri berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah. Bahkan yang membuat miris, diantara terduga pelaku, ada yang diduga berprofesi sebagai kepala desa, guru, hingga personel kepolisian.

“Ini benar-benar biadab, apalagi jika benar di antara terduga pelaku ada yang profesinya di duga kepala desa, guru, hingga personel kepolisian. Apa mereka tidak paham kekerasan seksual terhadap anak kejahatan luar biasa setara dengan terorisme dan pengedar narkoba? Apa mereka tidak tahu, menjadi pelaku kekerasan seksual anak artinya hukuman mati menanti?" Kata Fahira Idris, Selasa (30/5/2023).

Baca Juga

Ia mengatajan, seharusnya profesi-profesi di atas menjadi yang terdepan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. "Saya minta peristiwa ini menjadi perhatian serius negara. Seret ke pengadilan dan tuntut hukuman mati,” tegas Fahira.

Fahira Idris meminta kejaksaan dan hakim tidak perlu ragu menjatuhi hukuman mati kepada para pelaku kekerasan seksual anak di Kabupaten Parigi Moutong ini. Hal itu sesuai dengan perintah Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo Pasal 76D UU 17/2016 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. 

“Terlebih, jika nanti dalam proses pendalam di kepolisian dan fakta-fakta di persidangan, tindakan perkosaan ini dilakukan berkali-kali, mengakibatkan luka berat dan terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi korban,” kata Fahira Idris.

Selain itu, vonis mati predator anak Herry Wirawan dapat menjadi yurisprudensi bagi penegak hukum baik di kepolisian, kejaksaan maupun kehakiman dalam mengadili kasus ini. Dengan perangkat hukum yang ada saat ini terutama UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, lanjut Fahira, tidak boleh ada hukuman yang ringan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

“Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin meresahkan. Harus ada shock therapy agar semua orang di negeri ini paham dan terbuka matanya bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa dan bisa dihukum mati,” tutur Anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement