REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal zat adiktif yang menyejajarkan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan kembali mendapatkan penolakan. Selain dinilai berlebihan, pasal tersebut juga dianggap tidak berdasar karena produk tembakau merupakan barang legal.
"Upaya penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan ini tidak hanya berlebihan tetapi memberikan kesan bahwa pihak yang mengusung 'kurang kerjaan'," ujar Ketua Komunitas Perokok Bijak, Suryokoco Suryoputro, Selasa (23/5/2023).
Dia menyebutkan, pemerintah mengakui tembakau dan turunannya merupakan produk legal yang dijamin pemanfaatannya. Karena itu, menurut dia, selama ini pemerintah melakukan pemungutan cukai atas produk tembakau dan turunannya. Hal tersebut membuat produk tembakau menjadi salah satu sumber pendapatan resmi dan bernilai tinggi bagi negara.
"Nah, kalau bicara cukai itu kan berarti ini produk legal,” kata dia.
Dia menilai, hal tersebut bertolak belakang dengan narkotika dan psikotropika yang merupakan produk ilegal dan dilarang penggunaannya. Karena itu, dia menyampaikan, penyetaraan dua produk yang benar-benar berbeda baik jenis, dampak, maupun legalitasnya itu sebagaimana tercantum dalam pasal 154 di RUU itu merupakan hal yang tidak berdasar.
Lebih lanjut, dia juga menyebutkan, regulasi terkait pertembakauan yang ada saat ini sudah lebih dari cukup, bahkan bisa dibilang sangat ketat. Tidak dibutuhkan aturan lain atau perumusan aturan baru yang lebih ketat lagi. Sebenarnya, kata dia, tinggal bagaimana penegakan aturannya dan seterusnya.
Suryo pun merasa diperlukan adanya langkah untuk mengevaluasi lebih jauh alasan dan kepentingan munculnya pasal dimaksud serta siapa saja pihak yang berperan di dalamnya. “Kalau inisiasinya dari Kementerian Kesehatan, ya gamblang saja urusannya. Kemenkes sedang menjalankan tugas dari siapa yang membiayai,” kata Suryo.