Selasa 28 Mar 2023 18:39 WIB

'Panggung Sandiwara' Bernama Proses Hukum Tragedi Kanjuruhan

Keluarga korban kecewa dengan proses hukum hingga persidangan Tragedi Kanjuruhan.

Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Malang Raya membawa poster dan spanduk saat melakukan aksi kamisan di depan gedung DPRD, Malang, Jawa Timur, Kamis (16/3/2023). Dalam aksi kamisan tersebut mereka memprotes vonis pengadilan yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan dinilai tidak adil dan penuh rekayasa.
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Malang Raya membawa poster dan spanduk saat melakukan aksi kamisan di depan gedung DPRD, Malang, Jawa Timur, Kamis (16/3/2023). Dalam aksi kamisan tersebut mereka memprotes vonis pengadilan yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan dinilai tidak adil dan penuh rekayasa.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wilda Fizriyani, Dadang Kurnia

Lima terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Namun, vonis ringan dan bebasnya dua terdakwa membuat publik dan keluarga korban merasa prihatin.

Baca Juga

Devi Athok merupakan salah satu keluarga dari korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan. Pria yang harus kehilangan dua putrinya ini menilai keputusan tersebut tidak memenuhi keinginan keluarga korban.

"Tidak sesuai karena yang disalahkan angin, itu tidak benar," kata Devi Athok dalam kegiatan diskusi secara daring, baru-baru ini.

Selain sebagai keluarga korban, Devi Athok merupakan saksi yang turut dihadirkan dalam persidangan Tragedi Kanjuruhan. Sebagai saksi, Devi mengungkapkan, kelakuan hakim dan jaksa saat persidangan seperti sandiwara di sinetron. Mereka acap mengungkapkan hal-hal yang tidak sesuai fakta yang salah satunya menganggap Aremania salah dalam kejadian tersebut. 

Waktu bersaksi, kesaksian Devi Athok sering dianggap bohong. Padahal dia hanya ingin menyampaikan penolakan atas hasil autopsi yang menyebut kedua putrinya meninggal akibat terinjak-injak. Anggapan bohong tersebut tentu sangat melukai hatinya karena dia meyakini anak-anaknya meninggal karena gas air mata.

Kekecewaan juga dirasakan Devi Athok ketika terdakwa dari kepolisian bersikukuh menolak bahwa telah menembakan gas air mata ke arah tribun. Bahkan, ketiga terdakwa tersebut menyalahkan kondisi stadionlah yang menyebabkan tragedi terjadi. Padahal, fakta di lapangan tidak demikian. 

 

Devi Athok juga mengaku telah mendengar bahwa Polres Malang membentuk paguyuban yang isinya adalah pihak keluarga korban yang yang rela 'menjual' anak-anak mereka demi demi uang dan berdamai dengan polisi. 

Devi Athok menilai ada banyak bentuk intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian. Intimidasi ini tidak hanya dirasakan olehnya tetapi keluarga korban lainnya. Banyak dari mereka yang didatangi aparat dan diminta untuk berhenti menuntut usut tuntas dalam tragedi Kanjuruhan. 

Rasa kekecewaan atas hasil persidangan juga disampaikan Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), Imam Hidayat. Berdasarkan pengamatannya, ada banyak kejanggalan yang terasa menyesakkan data baginya yang telah menjadi advokat selama 26 tahun.

"Saya melihat pertunjukkan yang tidak lucu," ungkap Imam yang juga pengacara di Devi Athok.

Kejanggalan pertama sudah terlihat sejak aparat mengajukan laporan model A. Menurut dia, laporan ini terlihat jelas manipulatif atau sesuatu yang ujungnya sudah ketahuan. Hal ini terbukti di mana dua dari terdakwa kasus dinyatakan bebas sedangkan lainnya menerima vonis sangat ringan.

Kejanggalan lainnya terlihat kembali ketika proses rekonstruksi dilakukan di lapangan Mapolda Jawa Timur (Jatim). Lokasi ini jelas tidak tepat karena proses tersebut seharusnya dilaksanakan di Stadion Kanjuruhan. Ditambah lagi, aparat tidak melibatkan keluarga dan penasihat hukum dalam proses tersebut.

Di samping itu, pihaknya juga menegaskan, tidak semua korban Tragedi Kanjuruhan mati di pintu 13 yang terkunci. Hal ini karena pihaknya menemukan ada korban yang juga mati di tribun berdiri. Dengan kata lain, mereka meninggal bukan karena terinjak-injak atau terkena benda tumpul yang sebagaimana diungkapkan kepolisian. 

 

Di sisi lain, Imam juga masih ingat betul bagaimana Kapolri pernah mengungkapkan akan menambah dua tersangka baru. Namun hingga kini tidak kunjung dilakukan oleh pimpinan kepolisian RI tersebut. Dari sini, dia dan bersama keluarga korban tidak lagi berharap keadilan ada di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. 

Menurut Imam , pihaknya juga menemukan banyak kejanggalan selama proses persidangan. Pertama, yakni pelaksanaan sidang di PN Surabaya dengan akses sangat terbatas. Kemudian keamanan super ketat sehingga menimbulkan suasana mencekam di PN Surabaya.

 

Selain itu, juga ditemukan pendamping yang memberikan bantuan hukum dari kepolisian. Keberadaan pendamping ini jelas melanggar UU Advokat tetapi sayangnya majelis hakim mengizinkannya. Sebab itu, dia mendorong agar Komisi Yudisial (KY) dan Kompolnas untuk segera mengkaji kembali prosedur persidangan di PN Surabaya. 

Imam juga mengaku telah menerima informasi bahwa ada banyak saksi penting yang tidak ditampilkan dalam proses persidangan. Salah satunya berasal dari relawan atau tim medis kesehatan.

"Di BAP ada empat orang tetapi tidak terinformasi," ucapnya.

Atas kondisi demikian, maka Imam dan timnya akan lebih fokus pada model laporan B dibandingkan model A. Namun laporan tersebut direncanakan akan dibatalkan proses penyelidikannya oleh Kapolres Malang, AKBP Putu Kholis Aryana. Jajaran kepolisian menilai laporan model B tidak terbukti ada unsur pembunuhan sesuai pasal 338 KUHP. 

Sebagai informasi, laporan polisi model A merupakan laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau mengalami langsung peristiwa yang terjadi. Sedangkan, laporan polisi model B merupakan laporan polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima dari masyarakat.

 

photo
Karikatur opini Tragedi Kanjuruhan - (republika/daan yahya)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement