REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia mengkritik keras vonis bebas dua polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Keduanya lolos dari tuduhan kelalaian pidana dalam tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang menewaskan 135 orang.
"Pihak berwenang sekali lagi gagal memberikan keadilan kepada para korban kekerasan aparat meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangannya pada Kamis (16/3/2023).
Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah untuk memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan. Ini mencakup mereka yang berada di tataran komando guna memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai impunitas.
"Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen," ujar Usman.
Amnesty International Indonesia mengamati kasus ini kembali menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia. Amnesty meyakini kasus ini seharusnya menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan, bukan mengulangi kesalahan yang sama.
"Kurangnya akuntabilitas juga mengirimkan pesan berbahaya kepada aparat keamanan bahwa mereka dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum," ucap Usman.
Sekjen Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andy Irfan mengatakan, putusan tersebut menggambarkan hakim yang menyidangkan perkara tersebut hanya menjadi alat 'cuci piring' bagi kepolisian. Vonis tersebut juga disebutnya menjadi preseden buruk bagi sistem peradilan, dan menimbulkan keraguan bagi masyarakat yang ingin mencari keadilan.
"Putusan ini menggambarkan bahwa hakim hanya sebagai alat pencuci piring bagi polusi. Ini adalah tragedi bagi sistem peradilan kita. Ini juga tragedi bagi siapa pun orang yang ingin menuntut keadilan," ujarnya.
Majelis PN Surabaya pada hari ini menggelar sidang putusan terhadap tiga polisi terdakwa perkara tragedi Kanjuruhan secara marathon. Dua polisi yakni, mantan Kasaat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas, sementara mantan Danki I Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.
In Picture: PN Surabaya Jatuhkan Vonis Bebas Dua Terdakwa Kanjuruhan
Jika terhadap tiga terdakwa dari kalangan kepolisian, jaksa menyatakan masih pikir-pikir atas putusan majelis hakim, pada Selasa (14/3/2023), Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur resmi menyatakan banding terhadap vonis dua terdakwa lainnya.
Dua terdakwa yang dimaksud adalah Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris yang divonis 1 tahun 6 bulan, dan Security Officer Suko Sutrisno yang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
"Kemarin kami sudah nyatakan banding," kata jaksa Rahmat Hary Basuki dikonfirmasi Rabu (15/3/2023).
Ada satu tersangka dari perkara tragedi Kanjuruhan yang hingga kini belum disidangkan, yakni mantan Dirut PT Liga Indonesia Baru (LIB), Akhmad Hadian Lukita (AHL). Kasubdit I Kamneg Ditreskrimum Polda Jatim, AKBP Achmad Taufiqurrahman pada Senin (13/3/2023) mengaku, penyidik masih berupaya melengkapai berkas perkara AHL.
Taufiq menjelaskan, setelah penyidik meminta keterangan ahli tambahan beberapa waktu lalu, belum ada lagi rencana pemeriksaan saksi tambahan. Penyidik hanya berencana melakukan pemeriksaan tambahan terhadap Hadian.
"Tambahan saksi tidak ada, hanya rencana periksa tambahan Dirut LIB," kata Taufiq saat dikonfirmasi wartawan.
Taufiq menyatakan, meskipun pemeriksaan tambahan terhadap Hadian telah dilaksanakan, belum tentu penyidik langsung mengirimkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Pihaknya masih melakukan pembahasan terkait waktu pengiriman berkas perkara Hadian ke kejaksaan.
"Belum tahu (langsung dikirimkan ke kejaksaan atau tidak) masih dibahas lagi," ujarnya singkat.