REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada perkara Nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst atas gugatan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (RI) KPU yang berujung pada penundaan Pemilu 2024 menimbulkan banyak polemik. Banyak pihak yang menilai gugatan tersebut salah alamat bahkan putusan majelis hakim bisa mengarah pada mengganggu hak ratusan juta penduduk Indonesia.
Menurut Ketua Senat Universitas Krisnadwipayana (Unkris) yang juga Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Unkris, Prof Gayus Lumbuun, gugatan Partai Prima yang ditujukan kepada KPU melalui PN Jakpus dan bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) itu sudah tepat. Ini karena pengadilan negeri itu court of justice, pengadilan yang mengadili keadilan sedang PTUN itu court of law, hanya mengadili produk undang-undang (UU) yang cocok untuk diputuskan.
“Ada pihak yang menilai bahwa gugatan Partai Prima salah alamat, mestinya ke PTUN dan bukan ke pengadilan negeri. Saya berpandangan gugatan Partai Prima melalui PN Jakpus sudah tepat,” kata Prof Gayus dalam siaran persnya yang diterima Kamis (16/3/2023).
Karena itu, lanjut Prof Gayus, putusan PN Jakpus itu sah, tidak ada yang salah soal. Putusan tersebut menyangkut rasa keadilan yang tidak diperoleh oleh Partai Prima sehingga majelis hakim memutuskan ada biaya pergantian yang harus dibayarkan oleh negara sebesar Rp 500 juta. “Dalam putusan ini artinya sifat perkaranya inter parties (dua belah pihak), di mana Partai Prima merasa dirugikan oleh pihak lain yakni, KPU,” jelas Prof Gayus.
Prof Gayus mengatakan, gugatan yang diajukan Partai Prima adalah perbuatan melanggar hukum (PMH) yang dilakukan penyelenggara pemilu yakni, KPU. Namun, lanjut dia, terkait penundaan pemilu, perlu diperjelas apakah ini ultra petita ataupun ultra vires atau bagaimana. Ultra petita adalah suatu putusan yang melebihi tuntutan, sementara ultra vires yakni, suatu tindakan yang dilakukan pihak melebihi kewenangannya.
Namun bila untuk kepentingan orang banyak, sambung Prof Gayus, putusan ultra petita maupun ultra vires pun tidak bisa dipersalahkan karena pertimbangan hakim menyebutkan bahwa terjadinya penolakan pendaftaran oleh KPU telah menimbulkan kerugian bagi Partai Prima. "Dengan gagalnya memenuhi syarat pendaftaran dikarenakan sistem yang disediakan KPU tidak berkualitas dan terjadi error, sementara KPU hanya memberikan waktu 24 jam, membuat banyak cabang-cabang Partai Prima tidak bisa memperbaiki data-data sebagaimana waktu yang ditentukan.”
Mantan Hakim Agung RI tersebut juga mengingatkan bahwa sejumlah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang berkaitan dengan kebijakan penyelenggara negara yang harus dialihkan ke PTUN karena berkaitan dengan tindakan dan kebijakan badan penyelenggara negara, tidak boleh menghalangi keadilan bagi seseorang atau sekelompok orang oleh pengadilan. "Dalam perkara ini, tepatnya di peradilan umum (pengadilan negeri)”.
Prof Gayus menjelaskan, Perma tidak cukup mengatur soal pemilu saja, dengan mengesampingkan ketentuan lain yang ada di sebuah UU. Semisal, di Pasal 1365 UU KUHPerdata, yang dikarenakan kesalahan/kelalaian KPU sebagai lembaga pemerintahan. Sehingga wajar bila para pihak diadili oleh PN Jakpus untuk memperoleh keadilan.
“Dan lagi, itu baru materi awal, belum masuk pada substansi perkara. Apalagi, gugatan itu dilayangkan karena Partai Prima menilai bahwa upaya mereka mendaftar melalui sistem informasi partai politik (SIPOL) gagal karena error. Artinya, kesalahan ada pada KPU. Karena itu, KPU pun harus memberi ganti rugi kepada Partai Prima, sesuai amar putusan majelis hakim,” jelas Prof Gayus.
Jadi, sambung Prof Gayus, dalam hal ini Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi, “Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan karena kurang hati-hati atau kealpaan memiliki akibat hukum yang sama, yaitu pelaku tetap bertanggung jawab mengganti seluruh kerugian yang diakibatkan dari Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukannya”. Itu yang digugat oleh Partai Prima.
Sekali lagi, Prof Gayus mengingatkan bahwa putusan PN Jakpus terkait gugatan Partai Prima sah dan harus dihormati semua pihak. Kalaupun ada perbedaan pendapat sah-sah saja. Sebagai contoh, balai lelang negara atau Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) seringkali digugat di pengadilan negeri akibat kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan kerugian bagi debitur dan kreditur. Gugatan terhadap pelaksanaan lelang sebagian besar karena perbuatan melawan hukum (PMH).
“Jangan khawatir, bagi yang memiliki pendapat berbeda berkaitan dengan peraturan-peraturan khusus, seperti Perma dan lainnya, masih ada upaya yang sudah diatur melalui instrumen hukum banding dan upaya selanjutnya (banding dan kasasi),” tegas Prof Gayus.