REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyoroti peningkatan angka stunting di Provinsi Papua dari 29,5 persen pada tahun 2021 menjadi 34,6 persen di tahun 2022. Hal ini menjadikan Papua sebagai wilayah tertinggi ketiga prevalensi angka stunting di Indonesia.
Muhadjir berharap agar seluruh kabupaten dan kota memiliki target untuk menyelesaikan masalah stunting. Ma'ruf menegaskan dana desa dapat dimaksimalkan penggunaannya untuk ketahanan pangan, penanganan stunting, dan kemiskinan ekstrem.
"Stunting dan kemiskinan ekstrem merupakan permasalahan yang harus segera ditangani. Setiap kabupaten dan kota harus memperhatikan beberapa aspek," ujar Muhadjir dalam siaran persnya, Rabu (15/3/2023).
Karenanya, dia meminta setiap daerah memetakan kebutuhan untuk menyelesaikan masalah stunting seperti sanitasi air bersih dan lainnya. Begitu juga segera mempercepat pemenuhan Ultra Sonografi dan Antropometri di setiap puskesmas yang nantinya ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan, mempercepat validasi data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), serta mempercepat pengusulan sanitasi dan air bersih pada Kementerian PUPR.
"Sehingga nantinya mendapatkan bantuan serta perhatian khusus dari Kementerian PUPR agar penyelesaian mengenai target penanangan stunting dan kemiskinan ekstrem ini dapat segera diselesaikan dengan baik," kata Muhadjir.
Tak hanya stunting, Muhadjir menyoroti tingkat kemiskinan ekstrem di Papua pada masing-masing wilayah masih sangat tinggi diatas rata-rata nasional diantaranya pada Provinsi Papua sebesar 7,26 persen, Papua Tengah sebesar 11,62 persen, Papua Selatan sebesar 3,98 persen, dan Papua Pegunungan sebesar 16,50 persen sementara masih menjadi yang tertinggi se-Indonesia.
Menurut Kepala Bappeda Kabupaten Membramo Jaya H Mansur, peningkatan tersebut disebabkan karena data yang diinput ternyata belum termasuk ke dalam seluruh cakupan desa. Hal ini disebabkan oleh minimnya sarana dan prasarana yang digunakan untuk mengakses ke desa yang jaraknya cukup jauh, serta kurangnya tenaga kesehatan di puskesmas.
”Tidak semua puskesmas memiliki dokter, khususnya di daerah terpencil karena memang cukup susah dijangkau. Biasanya nanti kami meminta dari distrik atau kota maupun kabupaten untuk bisa mengisi kekosongan dokter di puskesmas tersebut," katanya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh daerah lainnya, masih adanya permasalahan pada intervensi spesifik seperti kurangnya edukasi konsumsi tablet tambah darah bagi remaja putri, rendahnya partisipasi keluarga dalam imunisasi anak, serta pemberian ASI dan makanan tambahan yang kurang optimal.
Sedangkan pada intervensi sensitif permasalahan yang dihadapi yakni kurangnya ketersediaan rumah layak huni bagi masyarakat, keterbatasan sumber daya manusia dalam memberikan edukasi terkait gizi, hingga akses infrastruktur sanitasi serta air bersih yang masih rendah.