REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Febryan A
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Djarot Saiful Hidayat menanggapi peluang terbentuknya koalisi antara partainya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Ia mengungkapkan, kerja sama politik saat ini masih sangat terbuka.
PDIP, jelas Djarot, memiliki sejarah bersama yang cukup panjang dalam kancah perpolitikan nasional. Salah satunya saat kader PPP, yakni Hamzah Haz yang menjadi wakil presiden dari Megawati Soekarnoputri pada 2001 hingga 2004.
"Jadi mempunyai sejarah yang sangat panjang, PPP dan PDI Perjuangan itu juga bertetangga, sehingga komunikasi itu berjalan dengan sangat baik. Apalagi Mbah Maimoen itu dekat sekali dengan Ibu Mega, jadi sangat wajar jika kami berkomunikasi dengan PPP sebagai tetangga yang baik," ujar Djarot di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Adapun dengan PBB, PDIP juga dekat dengan Yusril Ihza Mahendra yang merupakan ketua umum partai berlambang bulan dan bintang itu. Yusril sendiri merupakan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di era pemerintahan Megawati.
"Pak Yusril dengan Ibu Mega dan PDI Perjuangan itu tetap dibangun sampai dengan saat ini. Sehingga kita membangun hubungan kerja sama yang sangat baik," ujar Djarot.
"Kerja sama dengan partai-partai masih sangat terbuka, apalagi kita ini bekerja sama untuk membangun Indonesia yang sangat luas dengan berbagai macam tantangan ke depan yang juga lebih hebat. Jadi tantangan ke depan ini menjadi perhatian kita," sambungnya.
Sebelumnya, Yusril mengatakan bahwa perpaduan antara partai politik nasionalis dan Islam adalah dapat menjadi kekuatan besar dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Termasuk jika terbentuknya koalisi antara PBB, PPP, dan PDIP.
"Di Indonesia ada dua kekuatan politik besar, kekuatan nasionalis dan kekuatan Islam, tidak bisa berkuasa sendiri. Musti ada gabungan antara keduanya itu dan kalau PDIP tetap menjadi inti dari kekuatan nasionalis," ujar Yusril di Kantor DPP PPP, Jakarta.
"Kalau PPP dan PPP sama-sama partai Islam menyatakan bergabung dengan satu koalisi dengan PDIP, sebenarnya lebih representatif mewakili kekuatan Islam," sambungnya.
Setelah bertemu pimpinan PPP, kata Yusril, dirinya akan bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Partainya berpotensi membentuk koalisi dengan PDIP karena selama ini komunikasi terjalin baik.
"PDIP sekarang ditarik-tarik ke belakang kan PNI (Partai Nasionalis Indonesia). Kalau PBB ditarik-tarik ke belakang adalah Masyumi. Jadi, memang ada akar ideologinya, sehingga bisa bertemu dan bekerja sama," ujar pria yang dikenal sebagai anak ideologis dari pendiri Masyumi, Mohammad Natsir, itu.
Yusril mengatakan, jadwal pertemuan antara dirinya dengan Megawati sedang diatur oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. "Bu Mega sendiri pada saat saya bertemu langsung, kita sudah sepakat untuk membahas soal ketatanegaraan yang kita hadapi sekarang," ujarnya.
Gugatan di MK
Potensi bergabungnya PDIP dan PPP dalam satu kekuatan koalisi semakin nyata jika merujuk pada proses uji materi UU Pemilu yang saat ini tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika mayoritas partai politik (parpol) menolak adanya perubahan sistem proporsional dari terbuka menjadi tertutup, PBB justru satu barisan dengan PDIP yang menginginkan MK menerima gugatan dan menetapkan sistem proporsional tertutup dalam pemilu,
Saat membacakan keterangan sebagai pihak terkait, di gedung MK pada Rabu (8/3/2023) pekan lalu, Yusril menyebut, saat ini hanya PDIP dan PBB yang merupakan partai ideologis. Sedangkan partai politik lainnya merupakan partai pragmatis dan tidak punya akar ideologi.
Yusril awalnya menjelaskan mengapa perlu ada parpol. Kebutuhan untuk membentuk parpol, kata dia, berangkat dari asumsi bahwa dalam masyarakat majemuk setiap orang punya pemikiran yang berbeda.
Bagi orang-orang yang punya pikiran sama, lanjut dia, dipersilakan bersatu membentuk parpol. Parpol yang terbentuk itulah yang akan ikut dalam pemilu.
"Jadi partai itu mewakili orang yang mempunyai pikiran dan ideologi tertentu," kata Yusril.
Masalahnya sekarang, kata dia, kini hanya segelintir parpol yang bergerak berdasarkan sebuah ideologi. "Sekarang partai ideologis ini kan cuma tinggal dua, PDIP sama PBB," kata Yusril.
"Partai yang lain-lain kan partai pragmatis semua, bukan partai ideologis. Tidak ada akar ideologisnya," imbuhnya.
Sesama pimpinan partai ideologis, Yusril mengaku memahami kekesalan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri atas penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif. Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan. Pemenang kursi ditentukan oleh jumlah suara terbanyak.
Menurut Yusril, Mega kesal karena PDIP sudah mendidik kader-kader ideologis, tapi kader tersebut justru kalah dalam pemilihan legislatif. Mereka ditumbangkan oleh kader-kader yang punya popularitas dan punya uang banyak.
Ketika kader populer atau kaya ini sudah duduk menjadi anggota dewan, lanjut Yusril, partai biasanya tidak bisa mengontrolnya. Dia menyebut fenomena ini sebagai kooptasi caleg tanpa ideologi terhadap partai politik.
"Padahal ada partai itu untuk menyalurkan orang-orang yang pemikirannya sama. Sekarang ada yang tidak tahu ideologi PDIP seperti apa, tidak tahu ideologi PBB seperti apa, karena dia terkenal dia terpilih menjadi anggota DPR," ujar Yusril.