REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menegaskan bahwa perempuan adat harus mendapatkan perlindungan menyeluruh. Sebab, keberadaan perempuan adat berperan dalam setiap proses pembangunan berkelanjutan.
Ia berharap Undang-Undang Masyarakat Adat yang diperjuangkan dapat menjadi payung hukum untuk memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak perempuan adat secara utuh. Baik sebagai individu maupun kolektif yang menjadi kekhasan atau kekhususan yang melekat pada identitas perempuan adat.
"Masyarakat adat hingga saat ini masih berhadapan dengan sejumlah persoalan pemenuhan hak dasar yang kerap terabaikan dengan alasan pembangunan nasional," tuturnya dalam forum diskusi Denpasar 12 bertajuk Menempatkan Masyarakat Adat dan Perempuan Adat dalam Konteks Kebangsaan yang dipantau di Jakarta, Rabu (8/3/2023).
Wakil Ketua MPR ini mengatakan, ada beragam permasalahan yang kini masih dihadapi perempuan adat. Diantaranya menghadapi tindak kekerasan saat mempertahankan hak, baik hak pribadi maupun hak-hak adat secara umum. Padahal, perempuan adat berperan penting menjaga nilai-nilai budaya, merawat kearifan lokal dengan seperangkat karya intelektual.
Lestari menuturkan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berawal dari bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada wilayah nusantara kala itu. "Kalau kembali lagi kepada proses pembentukan negeri ini, topik masyarakat adat juga menjadi salah satu topik yang menjadi perhatian dan dibicarakan dalam sidang BPUPKI," tutur sosok yang akrab disapa Ririe ini.
Menurut Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, perempuan adat berperan sentral dalam masyarakat adat karena selain memegang peranan sosial, perempuan adat menjaga dan melestarikan lingkungan. Namun, menurut anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, perempuan adat hingga saat ini masih bergulat untuk melepaskan diri dari stigma dan belenggu budaya patriarki, ditinggalkan dalam proses pembangunan, dan ragam permasalahan yang belum terselesaikan.
Ia menambahkan, perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat sebetulnya sudah ada dalam Undang-Undang Dasar 1945. Baik sebelum maupun setelah amendemen. Namun, pernyataan yang tertera dalam konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia tersebut dinilai masih belum cukup.
Padahal, menurutnya, kearifan lokal dengan kekayaan budaya dan karya intelektual merupakan fondasi utama dalam proses pemulihan dan pembangunan nasional yang berkelanjutan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ia mengaku, regulasi perlindungan masyarakat dan perempuan adat mesti segera direalisasikan melalui sebuah undang-undang yang spesifik.
UU ini nantinya akan mengatur dinamika kehidupan masyarakat adat sekaligus pengakuan utuh terhadap masyarakat adat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Kita harus bersama-sama tanpa henti-henti terus mendorong agar pemerintah segera menyelesaikan kebijakan-kebijakan terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat secara terus-menerus dan yang paling penting mendorong DPR agar bisa segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat," tegasnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya mengaku Panitia Kerja (Panja) DPR RI pada 4 September 2020 sepakat agar RUU Masyarakat Hukum Adat diajukan ke Sidang Paripurna. Tetapi karena ada satu fraksi tidak sepakat, sampai saat ini RUU tersebut belum dibahas kembali.
"Ini tantangan kita bersama. Bagaimana delapan fraksi sepakat dan hanya satu fraksi yang menolak, hingga dua periode DPR tidak bisa mengundangkan RUU Masyarakat Hukum Adat," ujar Willy.
Perjuangan, tegas Willy, harus dilakukan bersama. Karena masyarakat adat selalu saja dihadap-hadapkan dengan pemodal besar dan proses pembangunan. Padahal, ujar dia, RUU Masyarakat Hukum Adat hadir bertujuan untuk merawat ke-Indonesia-an setiap anak bangsa.
Pada 2020, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sebaran masyarakat adat mencapai 70 juta jiwa dengan 2.371 komunitas adat. Luas wilayah adat sekitar 10,86 juta hektare di Indonesia.
Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara AMAN Devi Anggraini mengaku perempuan adat bukan sekadar menyediakan makanan di atas meja. Namun, seluruh proses sebelum sampai di atas meja, bahkan di luar dari dapur adalah bagian yang dilakukan oleh perempuan adat.
Ketika pandemi Covid-19 melanda, bahkan saat krisis terjadi, kehidupan yang bertahan paling kuat justru berada di tingkat rumah tangga. Ekonomi yang mandiri itu dibangun oleh tangan-tangan perempuan adat yang disandarkan pada wilayah adat mereka.
"Pendekatan yang tidak sekedar melihat materi, bukan hanya pada sekedar komoditas, bukan hanya sekedar mengejar keuntungan, tetapi bagi perempuan adat adalah memastikan bagaimana kehidupan di rumah tangganya ditopang penuh oleh apa yang ada di sekitarnya," kata Devi.