Senin 06 Mar 2023 15:49 WIB

Prima Desak KPU Setop Tahapan Pemilu Bila Berlanjut Cacat Hukum

Sejumlah pengamat dan pakar menilai putusan PN Jakpus cacat kompetensi.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Agus Jabo Priyono.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Agus Jabo Priyono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan seluruh lanjutan pelaksanaan tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Ketua Umum Partai PRIMA, Agus Jabo Priyono menegaskan, penghentian tahapan pesta demokrasi tersebut sebagai pelaksanaan atau eksekusi atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang harus dilakukan oleh KPU selaku tergugat.

Baca Juga

“Kita (Partai PRIMA, sebagai penggugat) meminta mereka (KPU) harus menghentikan dulu semua proses dan tahapan Pemilu 2024 yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” kata Jabo saat dihubungi Republika dari Jakarta, Senin (6/3/2023).

“Penghentian tahapan pemilu itu konsekuensi dari keputusan pengadilan,” kata Jabo menambahkan.

Meskipun KPU sebagai tergugat menggunakan hak banding ke Pengadilan Tinggi (PT), akan tetapi dalam amar peradilan tingkat pertama itu ditegaskan perintah pelaksanaan, atau eksekusi keputusan sejak dijatuhkan.

“Meskipun itu banding, putusan itu harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh tergugat. Karena dalam putusan pengadilan itu, pada poin (amar) ke-6 yang menyebutkan ‘menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta’,” ujar Jabo. 

Kata ‘serta merta’ tersebut, Jabo menerangkan, adalah eksekusi putusan yang otomatis harus dilaksanakan oleh KPU setelah PN Jakpus menjatuhkan putusannya, Kamis (2/3/2023).

Menurut Jabo, jika KPU tetap menjalankan tahapan lanjutan Pemilu 2024, maka, setiap kebijakan, dan keputusan apapun terkait tahapan Pemilu 2024 dapat dinilai sebagai perbuatan ilegal.

“Saya pikir, dengan adanya putusan dari pengadilan itu, keputusan, dan kebijakan apapun yang dilakukan KPU terkait dengan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 itu menjadi tindakan yang itu melawan hukum, dan ilegal,” ujar Jabo.

Karena, kata dia, PN Jakpus tegas dalam putusannya memerintahkan KPU untuk tak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari, setelah majelis hakim menjatuhkan putusannya. Perintah PN Jaksel terhadap KPU tersebut, pun dikatakan Jabo, sebagai penghukuman terhadap penyelenggara pemilu.

Partai PRIMA, pun dikatan Jabo, tak perlu lagi untuk melayangkan surat permohonan eksekusi. Karena kasus Partai PRIMA vs KPU tersebut adalah keperdataan. Dalam keperdataan, pihak tergugatlah yang harus melaksanakan eksekusi atas putusan PN Jakpus yang mengabulkan permohonan pihak penggugat.

“Jadi itu (permohonan) eksekusi, tidak perlu kami lakukan. Karena eksekusi itu otomatis harus dilaksanakan oleh tergugat begitu putusan itu dibacakan oleh hakim pengadilan. Dan KPU harus mematuhi keputusan itu. Dan kita semua menghormati keputusan pengadilan itu,” terang Jabo. 

PN Jakpus pada Kamis (2/3/2023) memutuskan mengabulkan semua gugatan keperdataan ajuan Partai PRIMA atas KPU. Dalam putusannya majelis hakim menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Putusan lainnya menyatakan Partai PRIMA adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh KPU. Majelis hakim menghukum KPU sebagai tergugat membayar ganti kerugian untuk Partai PRIMA sebagai penggugat senilai Rp 500 juta karena tak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024.

Putusan kontroversi dalam perkara perdata ini terkait dengan tuntutan penggugat atas tergugat menyangkut soal kepastian Pemilu 2024 yaitu dengan menjatuhkan hukuman terhadap KPU sebagai tergugat yang menyelenggarakan pemilu untuk menghentikan seluruh tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Penghentian tahapan pemilu tersebut dalam putusan dilakukan sejak penjatuhan amar. "Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," begitu bunyi putusan hakim. “Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad),” sambung putusan tersebut.

Putusan PN Jakspus itu memancing reaksi negatif. Karena putusan tersebut mengancam batalnya pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah ditetapkan. Sejumlah pengamat, dan guru besar ilmu hukum, pun menilai putusan PN Jakpus itu menyimpang dan cacat kompetensi. Karena sejatinya perkara Partai PRIMA versus KPU tersebut terkait kepemiluan yang tak bisa diperkarakan secara keperdataan di peradilan umum. Perkara kepemiluan memberikan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai pengadil.

Pun jika selisih paham antara keduanya terkait dengan hasil pemilihan umum, dapat mengajukan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan bukan ke peradilan perdata. “Hakimnya itu layak untuk dipecat saja. Hakimnya tidak profesional, dan tidak mengerti hukum sama sekali. Tidak mengerti hukum pemilu, tidak mampu membedakannya dengan urusan private (keperdataan), dan yang menjadi urusan publik,” begitu kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Profesor Jimly Asshiddiqie. 

Atas putusan PN Jakpus tersebut, pun KPU menyatakan perlawanannya dengan mengajukan banding. Ketua KPU Hasyim Asyari pun menanggapi putusan PN Jakpus itu tak mendesak penyelanggara Pemilu 2024 untuk menyetop tahapan lanjutan pesat demokrasi tahun mendatang itu.

“Kami tegaskan bahwa KPU tetap akan menjalankan tahapan-tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini,” kata Hasyim saat konfrensi pers daring, Kamis (2/3/2023) malam.

 

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement