REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) memprioritaskan laporan soal putusan penundaan Pemilu 2024 yang diketok Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). KY berencana memeriksa saksi-saksi dari PN Jakpus dalam waktu dekat ini.
Pada Senin (6/3), KY menerima dua laporan menyangkut putusan penundaan Pemilu. Laporan itu diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih dan Kongres Pemuda Indonesia (KPI).
"Untuk kasus-kasus yang berdampak besar dan perhatian publik itu jadi prioritas KY, bukan kemudian kami nggak periksa hal biasa tapi diprioritaskan (laporan terkait ini)," kata Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata kepada wartawan, Senin (6/3).
Fajar menyadari masyarakat saat ini tengah memperdebatkan putusan penundaan Pemilu. Putusan itu muncul dari kasus yang sesungguhnya adalah perbuatan perdata. "Tentunya sesuai visi dari Komisi Yudisial, kita akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan berbagai metode, berbagai cara untuk mendalami kasus tersebut," ujar Fajar.
Fajar menyebut salah satu metode yang digunakan ialah klarifikasi kepada hakim pemutus perkara, hakim lain atau ketua PN Jakpus. Klarifikasi ini bukan dalam bentuk pemeriksaan, melainkan upaya meminta keterangan mengenai alasan keluarnya putusan.
"Dalam hal ini belum sampai pada proses pemeriksaan, tetapi kami ingin memanggil hakim atau tidak dari pengadilan negerinya untuk coba ingin kami gali informasi lebih lanjut tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan utusan tersebut," ucap Fajar.
Fajar juga menjamin KY terus mengawasi proses hukum di kasus ini baik berupa banding maupun kasasi. Apalagi KPU sudah menyatakan banding atas putusan PN Jakpus. "Kami akan kawal terus kasus tersebut karena kita anggap hal ini cukup menjadi persoalan besar beberapa hal secara konstitusional maupun secara perundang-undangan," ucap Fajar.
Sebelumnya, PN Jakpus memutuskan menerima gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) pada Kamis (2/3). Lewat putusan itu, Majelis Hakim berpendapat agar Pemilu 2024 ditunda.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan yang dikutip Republika, Kamis (2/3).
Gugatan dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. itu menjadikan KPU sebagai tergugat. Gugatan ini diajukan sejak 8 Desember 2022 oleh PRIMA. Majelis hakim memutuskan menolak eksepsi KPU yang menganggap gugatan PRIMA kabur atau tidak jelas.
"Menerima gugatan penggugat untuk seluruhnya," tulis putusan.
Putusan ini diketok oleh Hakim Ketua Majelis Teungku Oyong dengan anggota hakim H.Bakri dan Dominggus Silaban.