Ahad 05 Mar 2023 16:45 WIB

Soal Putusan Penundaan Pemilu, PN Jakpus Disebut Copy Paste Petitum

Putusan PN Jakpus dinilai bisa berdampak pada penyelenggaraan Pemilu 2024.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (kiri) berjalan keluar usai menyampaikan paparan saat konferensi pers terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (2/3/2023) malam. Ketua KPU RI mengatakan memastikan akan mengajukan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintah untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Namun, KPU menegaskan akan tetap melanjutkan tahapan Pemilu 2024.
Foto: Amtara/Nyoman Hendra Wibowo
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (kiri) berjalan keluar usai menyampaikan paparan saat konferensi pers terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (2/3/2023) malam. Ketua KPU RI mengatakan memastikan akan mengajukan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintah untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Namun, KPU menegaskan akan tetap melanjutkan tahapan Pemilu 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dipandang mengeluarkan putusan yang sama persis dengan petitum partai Prima sebagai tergugat. Putusan tersebut berdampak pada penyelenggaraan Pemilu 2024.

Hal itu dikatakan oleh advokat Themis Indonesia, Ibnu Syamsu dalam diskusi daring pada Ahad (5/3/2023). Ibnu mengamati partai Prima memang tak mencantumkan petitum "penundaan" Pemilu, tapi membuat KPU mengulang tahapan Pemilu. Putusan ini berpotensi membuat pelaksanaan Pemilu 2024 molor. 

Baca Juga

"Petitum pemohon sengaja penundaan pemilu, di (petitum) angka 5 walau tidak ada tunda, tapi jelas hukum tergugat (KPU)  untuk laksanakan sisa tahapan yang diakomodir seluruhnya di amar putusan. Artinya copas (copy paste/tiru) persis apa yang ada di petitum pemohon lalu ditulis lagi di amar putusan," kata Ibnu dalam kegiatan tersebut. 

Ibnu menyayangkan putusan semacam itu keluar dari PN Jakpus. Ia meyakini putusan tersebut sudah menyalahi prosedur dan kewenangan. Salah satunya, putusan ini mestinya hanya mengikat KPU dan partai Prima. Tapi putusan penundaan Pemilu bakal mengikat semua parpol yang lolos verifikasi dan masyarakat sebagai pemilih. 

"Kalau ada sengketa ini daya ikatnya antara penggugat dengan tergugat tapi dalam hal ini ikat semua orang. Yang paling bahaya walau akan ada proses hukum selanjutnya putusan harus dilaksanakan," ujar Ibnu. 

Ibnu juga merujuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan. Dalam aturan itu, jika perbuatan melawan hukum (PMH) seperti pada perkara partai Prima vs KPU sudah diajukan ke PN, tapi belum diperiksa di PN, maka harus dilimpahkan ke PTUN. Sedangkan jika PN sudah melimpahkan perkara ke PTUN tapi belum diperiksa PTUN maka diadili PT-TUN. 

"Kalau perkaranya sedang diperiksa di PN, maka PN harus nyatakan tidak berwenangan mengadili," ucap Ibnu. 

Namun PN Jakpus melanggar Perma tersebut dengan memproses sidang perkara ini hingga mencapai putusan. Selain itu, Ibnu mengajak seluruh elemen masyarakat menolak putusan ini. Selanjutnya, organisasi masyarakat sipil mesti menguatkan advokasi agar putusan ini dimentahkan di tingkat banding. 

"Putusan fenomenal guncang hukum acara kita, putusan ini mengguncang kita semua karena di luar yang kita pelajari di bangku kuliah," ucap Ibnu.

Sebelumnya, PN Jakpus memutuskan menerima gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) pada Kamis (2/3/2023). Lewat putusan itu, Majelis Hakim berpendapat agar Pemilu 2024 ditunda. 

"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan yang dikutip Republika, Kamis (2/3/2023). 

Gugatan dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. itu menjadikan KPU sebagai tergugat. Gugatan ini diajukan sejak 8 Desember 2022 oleh PRIMA. Majelis hakim memutuskan menolak eksepsi KPU yang menganggap gugatan PRIMA kabur atau tidak jelas. 

Putusan ini diketok oleh Hakim Ketua Majelis Teungku Oyong dengan anggota hakim H.Bakri dan Dominggus Silaban. Berikut amar lengkap putusan perkara ini yang sama dengan petitumnya : 

 

1.Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2.Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;

3.Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;

4.Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;

5.Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari;

6.Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);

7.Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah). 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement