REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mendorong Pemerintah segera menetapkan Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) menjadi kejadian luar biasa. Ini karena kembali ditemukannya dua kasus GGAPA yang sebelumnya disebut Kementerian Kesehatan sudah selesai.
Netty mengaku, di setiap kesempatan, mendorong penetapan KLB GGAPA agar pemerintah lebih serius dalam menangani kasus yang sudah banyak menyebabkan kematian pada anak tersebut.
"Saya selalu menyebutkan, pemerintah jangan malu untuk menetapkan GGAPA ini sebagai kejadian luar biasa KLB," ujar Netty dalam keterangannya pada diskusi publik dan media briefing 'Kasus Gagal Ginjal Akut Baru dan Kejadian Luar Biasa' di Sadjoe Resto dan Cafe di Tebet, Jakarta, Kamis (9/2/2023).
Netty melanjutkan, kalau alasannya karena regulasi dan kejadian tidak memenuhi klausul ditetapkannya KLB maka pemerintah tentunya bisa merevisi aturan tersebut. Apalagi, pada kenyataannya, kasus GGAPA ini telah mengkibatkan ratusan anak meninggal dunia. Sehingga memerlukan investigasi yang bersifat komprehensif.
"Tentu tidak ada salahnya pemerintah menetapkan kejadian luar biasa tapi kita liat situasi seperti ini mengingatkan kita pada saat pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk menetapkan karantina atau PSBB pada awal pandemi," ujarnya.
Sebab, kata Anggota DPR dari Fraksi PKS penetapan KLB GGAPA ini akan memberikan konsekuensi pembiayaan yang besar.
"Yang jelas, satu yang membuat pemerintah ragu untuk menetapkan KLB karena pemerintah sudah membayangkan betapa besarnya anggaran atau pembiayaan yang harus ditanggung ketika sebuah kejadian dinyatakan KLB," ujarnya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya masih menunggu penelitian antara laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan pembandingnya terkait ditemukannya dua kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Hingga kini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum dapat menetapkan kejadian luar biasa (KLB) terhadap penyakit tersebut.
"Ini yang kejadian kan satu dan masih perlu ditentukan lagi penyebabnya itu apa, karena ada perbedaan hasil dari dua laboratorium ini. Nah itu yang sekarang kita tunggu saja," ujar Budi usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/2/2023).
Adapun saat ini, Kemenkes telah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaan obat untuk melakukan penarikan sukarela atau voluntary withdrawal. Pihaknya meminta dokter anak untuk meresepkan obat berisiko lebih rendah.
"Kita sudah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaannya akan melakukan voluntary withdrawal. Kedua, kita juga sudah mengimbau kepada IDAI agar meresepkan obat-obat yang berisiko lebih rendah, nah itu mereka yang nanti akan menentukan obatnya sendiri," ujar Budi.