Selasa 07 Feb 2023 01:33 WIB

Pemerintah Terkejut IPK Indonesia Turun, Jokowi Panggil Pejabat Terkait

Menurut Mahfud, IPK bukan fakta tapi persepsi dan terbatas pada bidang tertentu.

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Andri Saubani
Menko Polhukam Mahfud MD.
Foto: Prayogi/Republika
Menko Polhukam Mahfud MD.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan jajarannya dari Menko Polhukam Mahfud MD, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dan Ketua KPK Firli Bahuri membahas penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, penurunan IPK dari sebelumnya berada di skor 38 menjadi 34 ini mengejutkan pemerintah.

“Baru saja Presiden memimpin pertemuan intern tentang pemberantasan korupsi di mana yang tadi diundang Menko Polhukam, Jaksa Agung RI, kemudian Kapolri, dan Ketua KPK khusus untuk menanggapi turunnya skor indeks persepsi korupsi, CPI, corruption perception index yang agak mengejutkan,” ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/2/2023).

Baca Juga

Dalam pertemuan tersebut, Presiden dan para jajarannya mengapresiasi hasil rilis IPK dari Transparency International Indonesia (TII). Menurutnya, pemerintah akan melakukan perbaikan-perbaikan dalam waktu dekat. Selain itu, Presiden Jokowi juga akan memberikan arahan khususnya terkait hal ini dalam tiga hari mendatang.

“Kita akan melakukan langkah-langkah yang nanti akan mungkin dalam dua atau tiga hari ke depan akan dipanggil lagi oleh Presiden. Kami berempat untuk Presiden menyampaikan arahan-arahan apa yang akan kita lakukan,” jelas dia.

Mahfud juga menyampaikan, hasil IPK dari TII tersebut bukan merupakan fakta, namun hanya merupakan persepsi dan terbatas pada bidang tertentu. Sebab, di beberapa bidang tertentu justru memiliki skor yang meningkat seperti bidang penegakan hukum, pemberantasan korupsi, demokrasi, dll.

“Kami hanya ingin menyatakan bahwa itu semua bukan fakta, tapi persepsi dan baru terbatas pada hal-hal tertentu, di bidang-bidang tertentu kita justru naik, demokratisasi naik, penegakan-penegakan hukum dan keadilan naik,” ujarnya.

Namun di sektor lainnya seperti perizinan, kemudahan berinvestasi, kekhawatiran investor terhadap kepastian hukum, dll, mengalami penurunan skor. Lebih lanjut, Mahfud juga menyampaikan penurunan indeks persepsi korupsi juga dialami oleh hampir semua negara, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei, dll.

Penilaian di setiap negara juga dinilainya menggunakan ukuran yang berbeda-beda. Ia mencontohkan Timor Leste yang memiliki skor IPK lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sebab, Timor Leste hanya diukur dari empat lembaga survei, sedangkan Indonesia diukur dari delapan lembaga survei.

“Tapi nggak apa-apa itu hak dari TII untuk membuat agregasi dan kami menghargai upaya TII sebagai persepsi. Itu bukan fakta, sehingga kami perbaiki juga dari sudut persepsi,” jelas Mahfud.

Seperti diketahui, penurunan IPK Indonesia pada 2022 ini menjadi titik terendah sejak 2015. Perolehan ini juga membuat posisi Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun 2021 yang mencapai ranking 96.

TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori. Adapun skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

“CPI (corruption perception index) Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” kata Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/1/2023) pekan lalu.

Dengan hasil tersebut, Indonesia hanya mampu menaikkan skor IPK sebanyak dua poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23).

Sementara di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru (87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83), serta Swiss (82). Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), serta Venezuela (14).

“Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter, tingkat korupsinya rata-rata 26,” ujar Wawan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement