Sabtu 24 Dec 2022 23:38 WIB

Guru Besar UI: Banyak Pasal KUHP Baru Merupakan 'Jalan Tengah'

Salah satu pasal yang mengakomodasi beragam kepentingan adalah Pasal hukuman mati

Massa  yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/12/2022). Dalam aksinya mereka menolak KUHP, menuntut pemerintah untuk menghapus pasal-pasal yang dinilai bermasalah, serta menghentikan praktik otoriter dalam tubuh pemerintah. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/12/2022). Dalam aksinya mereka menolak KUHP, menuntut pemerintah untuk menghapus pasal-pasal yang dinilai bermasalah, serta menghentikan praktik otoriter dalam tubuh pemerintah. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM  -- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hukum Indonesia (FH UI) Topo Santoso menyebutkan banyak pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang merupakan "jalan tengah". Sebut saja pasal yang mengatur hukuman mati.

"Misalnya, Pasal 100 KUHP terkait dengan pidana mati. Pasal ini sesungguhnya menengahi mereka yang menginginkan penerapan pidana mati secara zakelijk, sementara di sisi lain ada yang menginginkan agar pidana mati tidak perlu diterapkan," kata Prof. Dr.Topo Santoso, S.H., M.H., yang juga salah satu anggota tim penyusun KUHP baru melalui siaran pers yang diterima Antara, Sabtu.

Baca Juga

Dalam acara pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh Indonesian PhD Council di Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat, dia mengatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dalam Pasal 100 KUHP mengharuskan ada semacam "masa percobaan" selama 10 tahun (Pasal 100 ayat 1). Pasal ini memberikan waktu jeda kepada si terpidana sebelum pelaksanaan eksekusi mati.

Hal lainnya, kata dia, adalah Pasal 240 terkait dengan penghinaan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Pasal ini pun dikatakan sebagai "jalan tengah" karena belajar dari masa lalu saat berlakunya pasal haatzaai artikelen maupun UU No. 11/PNPS/1963 tentang Subversi karena bangsa ini mengalami sejarah kelam masa haatzaai artikelen dan ketentuan tentang subversi.

Pada masa Orde Baru terlalu banyak korban dari pasal haatzaai artikelen maupun UU Subversi. Sedikit saja mengkritik penguasa Orde Baru maka dengan mudah dijebloskan ke penjara. Pada masa Presiden B.J.Habibie ketentuan tentang subversi ini dicabut.

"Pertanyaannya apakah pada masa Presiden RI Joko Widodo pasal tersebut akan dihidupkan kembali?" katanya.

Menurut Prof.Topo, Pasal 240 KUHP baru merupakan "jalan tengah". Jangan sampai adanya Pasal 240 membuat pejabat pemerintah menjadi baper, misalnya sedikit-sedikit melakukan laporan karena dikritik. Harus dibedakan yang disebut kritik dan fitnah. Kalau terhadap kritik, seorang pejabat sudah seharusnya terbuka dan menerima dengan sikap positif.

Pasal tentang perzinaan dalam Pasal 284 ayat 1 (b) di KUHP yang lama juga mendapat sorotan Prof.Topo. Sebagaimana diketahui pada masa lalu acap kali terjadi tindakan eigenrichting (main hakim sendiri) terkait dengan "kumpul kebo" dan samen-leven (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan).

Untuk menghindari kebrutalan atau tindakan main hakim sendiri, pasal perzinaan dalam KUHP baru direvisi. Dalam konteks delik aduan, kecil kemungkinan orang tua sendiri mengadukan atau melaporkan anak kandungnya sendiri yang melakukan kesalahan perzinaan.

Dengan demikian, kata dia, penyelesaiannya diharapkan agar orang tua sendiri yang melakukan pengayoman atau pembinaan secara kekeluargaan terhadap anak kandungnya sendiri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement