REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly merespons kritik keras Iskan Qolba Lubis dari Fraksi PKS DPR RI soal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Yasonna mengatakan, sah saja bagi orang yang ingin menyampaikan pendapat atau pandangan.
Namun, ia menekankan, memaksakan kehendak juga merupakan sesuatu yang tidak sah dalam kehidupan demokrasi. "Itu sah, itu pendapat beliau karena PKS sendiri sudah menyampaikan setuju dengan catatan, itu akan masuk ke catatan pembahasan UU, termasuk tadi Demokrat catatan perlu sosialisasi lagi agar jangan ada salah tafsir dari penegak hukum," kata Yasonna, Selasa (6/12/2022).
Rapat paripurna yang akhirnya mengesahkan RKUHP menjadi UU turut diwarnai interupsi panas dari PKS. Bahkan, Iskan memutuskan meninggalkan ruangan usai berdebat dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Yasonna mengatakan, sudah ada mekanisme yang konstitusional jika ada pihak yang merasa pasal dalam KUHP bertabrakan dengan UUD 1945. Ia menambahkan, KUHP sebelumnya yang sudah berlaku puluhan tahun, ada yang menggugat ke MK.
Bahkan, ia menyampaikan, belum lama ini masih ada yang mengajukan judicial review ke MK terhadap salah satu pasal yang ada di KHUP. "Itu mekanisme konstitusi bagi orang yang merasa pasal ini bertabrakan dengan konstitusi," ujar Yasonna.
Iskan melayangkan interupsi dan menyatakan PKS masih keberatan dengan beberapa pasal dalam RKUHP seperti Pasal 240 tentang Penghinaan Pemerintah dan Lembaga Negara, 218 tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Iskan menyampaikan, akan melakukan gugatan terhadap pasal-pasal itu ke MK karena akan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Ia berpendapat, pengesahan yang dilakukan hari ini menjadi tidak penting karena akan digugat ke MK. Suasana semakin panas usai Dasco menolak permintaan tiga menit dari Iskan untuk bicara.
Iskan menyebut Dasco yang memimpin sidang diktator dan dibantah Dasco. Kemudian, Iskan memilih dan disilakan untuk meninggalkan ruang sidang.
Langkah dekolonisasi
Yasonna mengatakan, pengesahan KUHP dapat menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana nasional Indonesia dan mewujudkan misi dekolonisasi KUHP warisan kolonial. Yasonna mengatakan, KUHP disusun dalam suatu sistem kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan KUHP lama yang merupakan produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia-Belanda.
"Sejak kemerdekaan, KUHP warisan kolonial belanda telah berkembang secara masif dari asas-asas hukum pidana umum yang diatur dalam kodifikasi. Perkembangan ini berkaitan baik dengan hukum pidana murni maupun administratif, termasuk perda," ujar Yasonna.
Pengesahan juga mewujudkan demokratisasi hukum pidana, konsolidasi hukum pidana, adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum. Perkembangan hukum ini baik sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, serta norma.
“Juga, perkembangan dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia dan sebagai refleksi kedaulatan nasional yang bertanggung jawab," kata Yasonna.
Ia menerangkan, pembentukan KUHP sudah melalui langkah panjang yang dimulai sejak Seminar Hukum Nasional I pada 1963. Ia berpendapat, memang tidak mudah bagi Indonesia yang sangat multikultur dan multietnis membuat kodifikasi hukum pidana yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingan.