REPUBLIKA.CO.ID, JAKRTA -- Juru bicara Rancangan Kitab Undangan-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Albert Aries memberikan respons terhadap Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) yang menyatakan bahwa delik agama di RKUHP dinilai masih sangat luas dan multitafsir. Albert menegaskan, sebagai bentuk perwujudan dari hak untuk dijelaskan (right to be explained), pihaknya perlu memberikan penjelasan dan klarifikasi atas pandangan dari ISFoRB tersebut.
"Alasannya, perumusan Pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP masih diperlukan pengaturannya di Indonesia, karena isu agama dan kepercayaan merupakan hal yang perlu dijaga persatuan dan keharmonisannya di negara yang multireligi seperti Indonesia," kata Albert Aries, Senin (28/11/2022).
Menurut dia, perumusan Pasal 300 RKUHP yang berasal dari Pasal 156A KUHP ini telah disesuaikan berdasarkan masukan dari masyarakat sipil dengan mengadopsi ketentuan Pasal 19 ayat 2 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR).
Pasal itu berbunyi; 'Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar Kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.'
Oleh karena itu, lanjutnya, substansi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP yaitu permusuhan, kebencian, atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain dianggap telah memenuhi prinsip lex certa dan lex stricta yang disyaratkan dalam Asas Legalitas yang berlaku universal.
"Sedangkan, mengenai pandangan dari ISFoRB yang mengatakan peluang penafsiran ekstensif mengenai 'ancaman kekerasan' untuk membuat orang tidak beragama dalam Pasal 302 ayat 2 RKUHP, karena mengenai 'ancaman kekerasan' juga sudah dijelaskan dalam Pasal 157 RKUHP (Buku I)," jelasnya.
Pasal itu berbunyi; 'Setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.
JAKRTA -- Juru bicara Rancangan Kitab Undangan-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Albert Aries memberikan tanggapan terhadap Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) yang menyatakan bahwa delik agama di RKUHP dinilai masih sangat luas dan multitafsir. Albert menegaskan, sebagai bentuk perwujudan dari hak untuk dijelaskan (right to be explained), pihaknya perlu memberikan penjelasan dan klarifikasi atas pandangan dari ISFoRB tersebut.
"Alasannya, perumusan Pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP masih diperlukan pengaturannya di Indonesia, karena isu agama dan kepercayaan merupakan hal yang perlu dijaga persatuan dan keharmonisannya di negara yang multireligi seperti Indonesia," kata Albert Aries, Senin (28/11/2022).
Menurut dia, perumusan Pasal 300 RKUHP yang berasal dari Pasal 156A KUHP ini telah disesuaikan berdasarkan masukan dari masyarakat sipil dengan mengadopsi ketentuan Pasal 19 ayat 2 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR).
Pasal itu berbunyi; 'Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar Kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.'
Oleh karena itu, lanjutnya, substansi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP yaitu permusuhan, kebencian, atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain dianggap telah memenuhi prinsip lex certa dan lex stricta yang disyaratkan dalam Asas Legalitas yang berlaku universal.
"Sedangkan, mengenai pandangan dari ISFoRB yang mengatakan peluang penafsiran ekstensif mengenai 'ancaman kekerasan' untuk membuat orang tidak beragama dalam Pasal 302 ayat 2 RKUHP, karena mengenai 'ancaman kekerasan' juga sudah dijelaskan dalam Pasal 157 RKUHP (Buku I)," jelasnya.
Pasal itu berbunyi; 'Setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.
Menurut Albert Aries, sebelum seorang hakim menjatuhkan putusan atau vonis kepada seorang terdakwa maka terdapat suatu pertimbangan, yaitu tujuan dan pedoman pemidanaan. Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya tidak pernah ada dalam KUHP yang digunakan di ruang-ruang sidang selama ini.
Tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51 dan 52 RKUHP yang tengah disusun setidaknya memiliki lima target. Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum. Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan.
Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Keempat memulihkan keseimbangan, menumbuhkan rasa penyesalan, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Terakhir ialah tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan sebagai merendahkan harkat dan martabat manusia.
Selain itu, sebelum mengetok palu, seorang hakim akan menggunakan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 Ayat (1). Dalam ketentuannya, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Namun, jika keduanya ada pertentangan maka hakim wajib mengutamakan sisi keadilan.
Pada Pasal 54 Ayat (1) tersebut terdapat beberapa poin pertimbangan oleh hakim. Pertama, bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan tindak pidana, sikap batin pelaku, tindak pidana dilakukan terencana atau tidak dan cara melakukan tindak pidana.
Berikutnya, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku. Kemudian termasuk juga tentang pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku dan korban, pemaafan dari pihak keluarga korban atau korban, dan terakhir nilai hukum serta keadilan yang hidup dalam masyarakat.
"KUHP adalah cerminan paling jujur dari peradaban sebuah bangsa bagaimana memandang aturan hukum harus ditaati," ujar Albert seperti dilansir dari Antara.