Sabtu 19 Nov 2022 00:42 WIB

Trauma Safitri dan Gugatan Class Action Orang Tua Korban Gagal Ginjal Akut

Belasan orang tua korban gagal ginjal akut gugat pemerintah dan perusahaan farmasi.

Safitri (42 tahun) salah satu orang tua korban gagal ginjal akut pada anak saat ditemui di Jakarta, Jumat (18/11/2022).
Foto: Republika/Dian Fath Risalah
Safitri (42 tahun) salah satu orang tua korban gagal ginjal akut pada anak saat ditemui di Jakarta, Jumat (18/11/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah

Tak pernah terbayangkan oleh Safitri Puspa (42 tahun) dirinya secara tidak langsung memberikan 'racun' kepada buah hati tercintanya, Panghegar Bhumi (8 tahun). Sebagai seorang ibu, Safitri hanya menginginkan kesembuhan untuk anaknya, namun obat sirop yang disuapkan ke mulut Panghegar malah berujung maut pada 15 Oktober 2022.

Baca Juga

"Anak kami baru berpulang sebulan kemarin. Sampai saat ini saya masih sangat traumatis. Saya yang memberikannya obat sirop tersebut, saya yang menyuruhnya minum, saya tidak pernah tahu kalau ternyata itu racun, karena saya sangat percaya dengan dokter dan fasilitas kesehatan, ini bahkan akan teringat terus trauma yang saya rasakan seumur hidup saya," ujarnya sambil menangis saat ditemui di Jakarta, Jumat (18/11/2022).

Safitri mengaku sampai saat ini masih menyesali dengan pilihan yang ia buat dengan menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan untuk mengobati anaknya saat sakit. Karena, dirinya sebenarnya memiliki asuransi kesehatan mandiri, namun saat itu ia justru memilih menggunakan BPJS Kesehatan sehingga ia mendapatkan resep obat generik yakni sirop paracetamol PT Afi Farma yang mengandung cemaran Etilen Glikol (EG).

Safitri menceritakan, awalnya putra keduanya tersebut mengalami demam tinggi hingga 40,5 derajat celcius pada Jumat (23/9/2022). Sehari setelahnya, Sabtu (24/9/2022) ia membawa Panghegar ke fasilitas kesehatan, demam sang anak pun berangsur mulai turun.

Namun, pada Senin (26/9/2022) Panghegar kembali demam tinggi, ia pun kembali membawanya ke fasilitas kesehatan. Dokter sempat mendiagnosis penyakit demam berdarah, dan pada saat itulah ia mendapatkan resep racun tersebut.

"Saat itu trombosit naik, tapi leukosit naik karena tanggal 26 September obat diganti. Anak saya sebelumnya pakai sediaan tablet, tanggal 26 September diganti ada sediaan sirop. Saya baru tahu parasetamol sediaan sirop dari salah satu produsen yakni PT Afi Farma, namun hanya satu kali saja diganti sediaan sirop," tuturnya lagi.

Sejak itu, Panghegar masih menjalani perawatan untuk demam berdarah karena tidak ada gejala khas gagal ginjal akut. Panghegar juga sempat menjalani swab PCR Covid-19 dan hasilnya negatif. Namun, meskipun sudah menjalani perawatan, kondisi Panghegar kemudian berangsur memburuk.

"Dan saya baru mengetahui anak saya tidak pipis dari hari kedua saat diinfus tidak berkemih dan ada penurunan fungsi ginjal. Saat itu banyak kasus AKI. Kami akhirnya masuk ke RSCM (rujukan BPJS) Rabu 5 Oktober pagi, dilakukan serangkaian koreksi, dan sudah mulai dijadwal. Jadi memang pengobatannya beda-beda tiap pasien," jelasnya.

"Ketika saya tanya anak saya pasien ke berapa, disebutin berapa belas, penyakit ini belum ada protokol, pengobatan, dan sifatnya supporting treatment," tambahnya.

Pada Rabu (5/10/2022), Panghegar akhirnya dijadwalkan cuci darah dan pada hari berikutnya Panghegar menjalani pertukaran plasma exchange ."Setelah PPE pertama anak saya masih ada respons di kaki tiap interval 5 menit, tapi omongan tidak ada. Setelah itu anak saya dalam keadaan tidak sadar sampai waktu berpulangnya," ceritanya.

Ia juga mengaku heran karena fasilitas cuci darah untuk anak di Jabodetabek hanya tersedia di dua rumah sakit. Salah satunya adalah RSCM. Saat itu, Safitri juga belum mengetahui secara pasti penyakit apa yang diderita sang anak. Setelah membaca berita, ia baru mengetahui adanya kabar heboh dari Gambia.

"Memang saya tidak pernah konsumsi obat itu, itu masih berjalan tiba-tiba mulai ada penarikan obat itu menurut saya sangat lambat, walaupun tidak masuk di sini, itu jadi pelajaran, ini kami pergerakannya lambat sekali," tegasnya.

Safitri juga sangat menyesalkan karena selama pengobatan sang anak belum sempat mendapatkan perawatan, dengan Antidote Fomepizole. Antidote Fomepizole diketahui sebagai penawar untuk gagal ginjal di Indonesia. Penawar ini didatangkan dari luar negeri, seperti Singapura, Australia dan Jepang.

"Anak saya berpulang 15 Oktober dan adanya obat antidote pada 18 Oktober. Tidak memang semua pasien berhasil dengan obat itu, tapi tidak ada salahnya kita coba. kami sudah lakukan segalanya," jelas Safitri.

Tak hanya itu, Safitri juga menyesalkan pemerintah dalam hal ini Kemenkes yang seperti abai dengan kasus gagal ginjal akut ini. Pasalnya, berdasarkan data untuk pasien gagal ginjal akut sebenarnya sudah ada sejak awal tahun yaitu Januari.

Data tersebut dikatakan berubah-ubah, yang mana angkanya memang belum sebanyak pada bulan Agustus 2022. Hal inilah sangat disayangkan oleh Safitri, karena GGA di awal sudah bisa menjadi pembelajaran oleh pemerintah.

""Saya lihat data dari Kemenkes berbeda-beda. ternyata data itu ada sejak Januari, kami sangat kecewa," kata Safitri.

Seharusnya, lanjut Safitri, pemerintah memiliki stok obat penawar gagal ginjal. Karena, nyatanya Indonesia mendapatkan obat penawar tersebut dari Singapura, padahal di negeri singa tersebut tidak ada pasien gagal ginjal akut.

"Seharusnya pemerintah itu sedia payung sebelum hujan, bukan setelah ada yang meninggal baru mencari obatnya. Awalnya saya tidak tahu kalau memang ada obat penawar ini. Saya sangat menyesalkan hal ini," tuturnya sambil menyeka air matanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement