REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Prof Anwar Usman mengatakan, masih banyak warga negara termasuk pejabat di pusat maupun di daerah yang tidak paham soal keberadaan lembaga hukum tersebut. Seminar nasional dengan tema "Perlindungan hak konstitusional warga negara melalui putusan Mahkamah Konstitusi" relevan dengan kondisi warga negara maupun pejabat negara yang tidak tahu atau paham tentang keberadaan MK termasuk soal produk-produk hukum yang diputuskan.
"Banyak yang belum paham dan belum tahu atau mungkin saja tahu dan paham, tapi tidak mau tahu dengan apa yang telah ditentukan dalam UUD 1945," kata Ketua MK Prof Anwar Usman pada seminar nasional dengan tema "Perlindungan hak konstitusional warga negara melalui putusan Mahkamah Konstitusi" yang dipantau secara daring, di Jakarta, Senin (7/11/2022.
Anwar Usman mengatakan melalui Pasal 24 C Ayat (1) dan (2) UUD 1945 MK diberikan kewenangan untuk mengadili perkara yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada lembaga atau seorang pun yang bisa menolak palu yang telah diketok majelis hakim.
"Jadi, sekali mengetok palu tidak ada upaya lain," ujar dia.
Hal tersebut berbeda dengan pengadilan lain misalnya di tataran pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara atau pengadilan militer sekalipun yang masih ada upaya banding. Oleh karena itu, dia menegaskan, masyarakat dan lembaga mana pun harus menyadari betul bahwa ketika hakim telah mengetok palu, tidak ada yang bisa mengubah keputusan tersebut karena bersifat final dan mengikat.
Meskipun ketentuannya sudah jelas, masih saja ada pihak-pihak yang menolak atau tidak setuju dengan putusan MK. Kendati demikian, Anwar memahami hal tersebut.
"Karena sampai kapan pun yang namanya putusan hakim tidak akan mungkin bisa memuaskan semua pihak," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Anwar juga menyampaikan sulit atau beratnya menjadi seorang hakim. Bahkan, Abu Hanifah seorang pendiri mazhab fiqih Hanafi rela dipenjara karena menolak untuk jabatan hakim yang ditawarkan kepadanya.