Kamis 03 Nov 2022 05:00 WIB

KPU Diminta Buat Aturan Larangan Pakai Fasilitas Negara Bagi Menteri Nyapres

Menteri berpotensi memobilisasi PNS untuk kepentingan pemenangan dirinya.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat konferensi terkait penyelenggaraan Pilkada di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (30/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati saat konferensi terkait penyelenggaraan Pilkada di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (30/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan khusus terkait menteri yang ikut jadi capres ataupun cawapres dalam Pilpres 2024. Permintaan ini merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan menteri nyapres tanpa harus mundur dari jabatannya.

"KPU perlu membuat aturan yang tegas terkait potensi pemanfaatan fasilitas negara (oleh menteri). Jangan sampai digunakan untuk kampanye," kata Ketua Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati kepada Republika.co.id, Rabu (2/11/2022).

Baca Juga

Menurut dia, KPU bisa mengatur ihwal larangan menggunakan fasilitas negara itu di dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye. Di sisi lain, dia juga menekankan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memainkan peran penting.

"Bawaslu perlu betul-betul mengawasi, jangan sampai ada kampanye di luar jadwal pemilu oleh menteri," kata Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa.

Ninis menjelaskan, sedikitnya terdapat dua masalah ketika menteri boleh nyapres tanpa perlu mundur. Pertama, menteri bisa berkampanye di luar jadwal. Kampanye terselubung itu dilakukan dengan kemasan sosialisasi program kementerian.

"Misalnya ketika ada kunjungan kementerian ke daerah, ada potensi disalahgunakan untuk mempromosikan diri si menteri. Hal ini sulit ditindak karena nanti (si menteri) akan berdalih bahwa kunjungannya itu bukan kampanye, tapi menjalankan program," kata Ninis.

Masalah kedua adalah menteri memobilisasi PNS kementeriannya untuk kepentingan pemenangan dirinya. Seorang menteri bisa saja meminta para pegawainya untuk memilih dirinya sebagai presiden dan juga meminta pegawainya berkampanye. Padahal, undang-undang mengharuskan PNS netral dalam pemilu.

"Bisa jadi mobilisasi PNS itu terjadi. Sebab, ketika menjalankan program-program kementerian kan melibatkan PNS. Perbedaan antara mengerjakan program dan berkampanye bisa tipis sekali," kata Ninis.

Sebelumnya, MK memutuskan bahwa menteri tidak perlu lagi mengundurkan diri saat maju sebagai calon presiden (capres) ataupun calon wakil presiden (cawapres). Menteri yang hendak ikut kontestasi pilpres hanya perlu mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.

Putusan yang dibacakan pada Senin (31/10/2022) itu merupakan jawaban atas permohonan Partai Garuda yang menguji konstitusionalitas Pasal 170 ayat 1 UU Pemilu. Pasal itu mengharuskan menteri mundur dari jabatannya ketika menjadi capres atau cawapres. Adapun Partai Garuda meminta MK memutuskan bahwa ketentuan tersebut inkonstitusional.

Hakim konstitusi Arief Hidayat mengatakan, gugatan Partai Garuda ini dikabulkan sebagian karena menteri juga memiliki hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih. "Terlepas pejabat negara menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi," ujar Arif membacakan pertimbangan hukum hakim konstitusi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement