REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin menegaskan munculnya Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM) tak menganulir kewenangan penyelidikan kasus HAM oleh Komnas HAM. Pembentukan TPPHAM merujuk Keppres Nomor 17 Tahun 2022.
Amir menyatakan Keppres itu tidak menghilangkan fungsi UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. "Kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dalam rangka penegakan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pelanggaran HAM yang berat tidak berkurang dengan adanya Keppres ini," kata Amir dalam keterangannya pada Kamis (20/10/2022).
Amir menyebut penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat memerlukan komitmen dari negara. Salah satu upayanya melalui penerbitan Keppres soal TPPHAM.
"Keppres yang ditandatangani pada 26 Agustus 2022 tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Salah satunya melalui mekanisme non yudisial," ujar Amir.
Amir juga menilai Keppres itu sebagai bentuk upaya perjalanan panjang negara untuk menunjukkan tanggungjawab dan komitmen pemerintah dalam menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. "Sampai hari ini, secara formal, belum ada pernyataan dari Pemerintah bahwa peristiwa ini terjadi dan siapa yang bertanggung jawab," ucap Amir.
Salah satu upaya riil dan dukungan dari Komnas HAM dalam pemenuhan hak korban pelanggaran HAM yang berat dengan mengeluarkan SKKPHAM (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM). Ia menyebut ada 6.189 SKKPHAM dalam rentang tahun 2012-2022. Surat keterangan tersebut berguna untuk pengakuan keberadaan korban serta memberikan akses bagi korban untuk bantuan psikososial dan medis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Amir berharap data SKKPHAM menjadi modal awal TPPHAM dalam upaya pemenuhan hak-hak korban. "Data Komnas HAM ini bisa menjadi langkah awal. Selanjutnya, korban bisa langsung datang ke tim untuk menyampaikan permohonan sehingga jumlahnya memiliki daya ungkit untuk keadilan. Ini menunjukkan negara memberikan perhatian kepada korban," ucap Amir.
Tercatat sedikitnya ada 13 kasus pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih ditangani Komnas HAM. Yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998, dan Kasus Paniai 2014.
"Tiga kasus di antaranya yaitu Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura telah memiliki putusan pengadilan adhoc namun tidak ada penetapan pelaku pelanggaran HAM berat atas peristiwa tersebut. Terbaru, Kasus Paniai 2014 sedang dalam proses persidangan. Sisanya, belum membuahkan hasil," ungkap Amir.