REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia adalah salah satu negara terburuk di dunia, urutan 29 dari 32 negara atau paling buruk di Asia Tenggara di ranah digital terkait dengan Indeks Keberadaban Digital di tahun 2020 akibat hoaks dan penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi. Untuk itu, harus ada upaya serius dari pemerintah terlebih di era digital ini atas pemakaian gadget seperti smartphone yang sudah lazim dipakai oleh kalangan anak dan remaja.
Sebanyak 68 juta siswa dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi terdampak pandemi Covid-19. Hal tersebut menyebabkan siswa harus melaksanakan pembelajaran secara daring. Di satu sisi, kemajuan teknologi informasi membawa manfaat. Di sisi lain membawa dampak negatif dengan meningkatnya tingkat kecanduan internet.
Hasil penelitian dr. K. Siste, SpKJ (K) terkait kecanduan internet/gadget di Jakarta menemukan remaja termasuk dalam kelompok usia yang rentan mengalami kecanduan internet di mana sebanyak 31,4% remaja mengalami kecanduan internet. Tujuh dari 10 remaja putri mengalami kecanduan media sosial dan sembilan dari sepuluh remaja putra mengalami kecanduan game online.
Atas kenyataan itu, Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Budaya, dan Prestasi Olahraga Didik Suhardi sangat antusias dengan sosialisasi aplikasi Digital Parenting. Terlebih kedeputiannya telah menghadiri sosialisasi aplikasi Digital Parenting, yaitu Ruang ORTU di Grand Zuri BSD City, Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2022 lalu bersama Sekretaris Deputi 4 dan Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak.
“Saya sangat antusias sekali dengan aplikasi Digital Parenting ini untuk penanaman nilai-nilai Revolusi Mental yakni Etos Kerja, Gotong Royong, dan Integritas. Ke depan, saya berharap akan menanamkan juga gerakan-gerakan Revolusi Mental seperti Gerakan Indonesia Bersatu, Indonesia Tertib, dan sebagainya,” tutur Didik pada Rapat Sosialisasi Aplikasi Digital Parenting, Selasa (30/8/2022).
“Saya juga berharap agar kelak aplikasi ini bisa dipakai orang tua anak-anak Indonesia dan gratis. Saya harapkan ada aksi nyata Revolusi Mental terkait hal ini,” kata Didik. Dia juga berharap adanya gerakan yang kolaboratif antara kedeputian Kemenko PMK dan mengikutsertakan kementerian dan lembaga pemerintahan terkait.
Asisten Deputi Literasi, Inovas,i dan Kreativitas Molly Prabawaty dalam kesempatan itu juga menegaskan semangat yang sama dan harapan upaya gotong royong antar kedeputian di Kemenko PMK. “Saya berharap kontribusi dari Deputi 3 dapat mendorong aplikasi ini diperkenalkan pada pemangku kepentingan terkait pengendalian dan penanggulangan kesehatan akibat adiksi seperti Kemenkes, WHO, pemerintah daerah, dan organisasi swasta kesehatan mental. Deputi 4 juga dapat mendorong aplikasi ini diperkenalkan pada pemangku kepentingan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak seperti KPPPA, Kemenpora, UNICEF, pemerintah daerah, organisasi swasta, dan organisasi kemasyarakatan lainnya,” tutur Molly.
Hal yang sama juga diharapkan pada Deputi 6 untuk dapat mendorong aplikasi ini diperkenalkan pada pemangku kepentingan terkait pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah serta pendidikan keagamaan seperti Kemendikbudristek, Kemenag, UNESCO, pemerintah daerah, organisasi pendidikan non-formal, dan informal di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, hadir wakil dari Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) Heru Nugroho dan Direktur utama PT Ide Defghi, Tombak. Menurut Heru Nugroho, aplikasi Digital Parenting ini sudah dipakai di sekolah swasta dan dicoba oleh 520 orang tua siswa.
“Sebenarnya aplikasi semacam ini banyak, di Google juga ada dan free. Namun,aplikasi-aplikasi yang berkembang di luar negeri sudah pasti pakai kultur luar. Sedangkan yang dikembangkan oleh kita bersama PT Defghi ini benar-benar memakai kultur Indonesia. Tentu sangat sesuai dengan kondisi kita,” tutur Heru.
Aplikasi diunduh di ponsel orang tua dan anak. Orang tua bisa memonitor aplikasi apa saja yang diunduh dan dipakai anak serta bisa mengontrol pemakaiannya. Bahkan, orang tua bisa menutup akses Virtual Privat Network (VPN) yang banyak bertebaran di internet bahkan banyak yang gratis.
“Pemerintah sudah memblokir sejumlah akses menuju portal-portal berbahaya semacam pornografi. Namun, anak sekarang sangat pintar bisa menggunakan VPN yang free maupun berbayar untuk mengakses portal-portal tersebut. Di aplikasi ini kita buang dan block VPN tersebut karena orang tua bisa memonitor dan mengontrol pemakaian internet anak lewat ponselnya,” jelas Tombak.
Dia menambahkan ada fitur panic button di aplikasi milik anak. “Jika anak dalam bahaya, anak bisa menekan panic button dan langsung ada video terekam sekitar 5 detik. Orang tua langsung mendapatkan pesan keberadaan anak,” pungkas Tombak.