Senin 11 Jul 2022 05:02 WIB

Pengamat Nilai Indikasi Donasi ACT Tertuju ke Kelompok Pemberontak di Suriah

Ada dua hal yang mendasari analisis Dina Sulaeman terhadap aliran dana ACT.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Suasana kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulsel di, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (6/7/2022). Pasca merebaknya isu dugaan penyalahgunaan dana donasi yang dikelola lembaga filantropi ACT tersebut berdampak pada penurunan donatur untuk berdonasi dan sumbangan hewan kurban yang menurun mencapai 40 persen serta aktivitas perkantoran terpantau sepi.
Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
Suasana kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulsel di, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (6/7/2022). Pasca merebaknya isu dugaan penyalahgunaan dana donasi yang dikelola lembaga filantropi ACT tersebut berdampak pada penurunan donatur untuk berdonasi dan sumbangan hewan kurban yang menurun mencapai 40 persen serta aktivitas perkantoran terpantau sepi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran yang juga pengamat Timur Tengah, Dina Sulaeman menilai adanya keterkaitan antara dugaan penyelewengan dana yang dilakukan oleh lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan kelompok pemberontak Suriah Free Syrian Army (FSA). Setidaknya, ada dua hal yang memperkuat analisisnya tersebut.

Pertama adalah klaim bantuan ACT ke wilayah bernama Ghouta, daerah yang berada sekira 450 kilometer dari Turki. Adapun perbatasan antara Turki dan Ghouta sendiri sudah dikuasai oleh pemerintah Suriah.

Baca Juga

"ACT harusnya meminta izin kepada pemerintah Suriah dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus. Buktinya mereka tidak bekerja sama dengan KBRI dan tidak minta izin ke Damaskus, artinya dipertanyakan betul (donasinya) ke Ghouta atau tidak," ujar Dina dalam sebuah diskusi daring, Ahad (10/7/2022).

Di samping itu, ada klaim yang menyebut bahwa wilayah tersebut masih dikuasai oleh kelompok milisi teroris. Hal inilah yang dipertanyakan olehnya, mengingat ACT yang menyalurkan donasinya ke daerah tersebut.

"Kalau mereka (ACT) bisa masuk Ghouta, izinnya ke kelompok ini dong? Apakah mereka (kelompok milisi) akan memberi izin kalau misalnya ACT bukan teman? Orang pemerintah dan PBB saja tidak bisa masuk," ujar Dina.

Kasus kedua adalah pengiriman donasi dari ACT ke perbatasan Turki lainnya yang bernama Idib. Padahal daerah tersebut merupakan tempat berkumpulnya Partai Islam Turkistan dan Uighur Tiongkok yang membuat gerakan bersenjata.

"Karena milisi kuat dan logistik terus mengalir. Artinya ketika ACT melanjutkan mengirim logistik ke Idlib, mereka membantu memperpanjang konflik di negara orang," ujar Dina.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, pihaknya sudah menemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang dari data aliran uang lembaga ACT. Termasuk adanya indikasi pendanaan terorisme dari tindak pidana tersebut.

"Sejak 2014 ini ada indikasi sudah kita temukan, kemudian kita koordinasi kepada penyidik, penegak  hukum. Selama ini kita bekerja karena memang PPATK itu kan intelligence financial unit, intelijen di bidang keuangan.," ujar Kepala Biro Humas PPATK Muhammad Natsir Kongah.

Ia menjelaskan, PPATK dapat melakukan penelusuran dari indikasi tersebut jika adanya laporang keuangan yang mencurigakan. Hal tersebut biasanya terendus dari transaksi bank yang berada di luar profil nasabah.

"Atau kalau untuk terorisme, walaupun itu angkanya kecil kalau digunakan untuk kegiatan kejahatan itu termasuk tindak pidana asal dari pencucian uang dan pencucian uang itu sendiri," ujar Natsir.

Terkait temuan PPATK, Presiden ACT Ibnu Khadjar sempat meminta kesempatan audiensi pihaknya dengan PPATK. Namun, pihak PPATK menegaskan, sebagai lembaga intelijen, PPATK tidak bisa memenuhi permintaan audiensi ACT itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement