Kamis 07 Jul 2022 17:25 WIB

MK tak Kabulkan Keinginan Warga Perpanjang Masa Jabatan Kepala Daerah

Mahkamah telah memberikan panduan mekanisme dan prosedur penunjukan kepala daerah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Dalam sidang tersebut MK menolak tiga gugatan permohonan uji materil terkait presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan/tom.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bersiap memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Dalam sidang tersebut MK menolak tiga gugatan permohonan uji materil terkait presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Perkara ini diajukan sejumlah warga DKI Jakarta dan Papua yang menginginkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah dibandingkan pengangkatan penjabat (pj) kepala daerah.

"Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 37/PUU-XX/2022 pada Kamis (7/7/2022).

Baca Juga

Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan, sebagian substansi yang dimohonkan para pemohon adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam perkara nomor 67/PUU-XIX/2021, 15/PUU-XX/2022, dan 18/PUU-XX/2022. Ketiga perkara ini telah diputus pada 20 April 2022 lalu.

Mahkamah mengatakan, ketiga putusan itu telah cukup jelas menjawab isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para pemohon dalam perkara ini. Menurut Mahkamah, para pemohon seharusnya bisa memahami secara utuh ketiga putusan itu, sehingga kekhawatiran mengenai adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para pemohon akibat penunjukan penjabat kepala daerah, tidak akan terjadi.

Sebab, pada prinsipnya, Mahkamah telah memberikan panduan terkait mekanisme dan prosedur penunjukan kepala daerah oleh pemerintah. Mahkamah menegaskan, pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah.

Mahkamah juga telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas.

"Tidak terdapat keraguan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan secara komprehensif konstitusionalitas ketentuan peralihan menuju Pilkada Serentak Secara Nasional Tahun 2024. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon," kata Saldi.

Perkara ini diajukan dua warga DKI Jakarta dan empat warga Papua. Mereka berpendapat, perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang sebelumnya telah dipilih secara langsung oleh rakyat lebih legitimas dibandingkan dengan penunjukan penjabat kepala daerah yang berasal dari aparatur sipil negara (ASN).

"Bahwa dalam situasi yang terburuk, rendahnya legitimasi Penjabat Kepala Daerah dapat menimbulkan persoalan yang lebih serius berkaitan dengan karakteristik daerah konflik seperti Papua di mana aspek keamanan, khususnya berkaitan dengan potensi konflik yang sangat besar," demikian bunyi permohonan para pemohon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement