REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengamini banyaknya polemik dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun menurutnya, sebuah produk hukum memang tak sepenuhnya bisa memuaskan semua pihak.
"Teman-teman tidak mungkin mendapatkan sebuah rancangan undang-undang ataupun undang-undang yang bisa memuaskan banyak pihak," ujar Supratman dalam audiensi dengan Paguyuban Korban UU ITE, Selasa (5/7/2022).
Karena hal tersebutlah, menjadi tugas semua pihak untuk meminimalisir disalahgunakannya UU ITE. Salah satunya lewat Surat Edaran (SE) Kapolri bernomor SE/2/11/2021, yang menjadi pedoman bagi kepolisian dalam menangani kasus-kasus yang menggunakan UU ITE.
"Pemerintah menjamin, kenapa kami stuck di parlemen, karena pemerintah yang menjamin untuk itu, mengambil inisiatif untuk itu, terhadap tindakan restorative justice terhadap aparat kepolisian," ujar Supratman.
Anggota Baleg Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nur Nadlifah mengaku miris dengan banyaknya korban dari UU ITE. Apalagi mayoritas dari mereka hanyalah berupaya menyampaikan kritik dan protes atas suatu kebijakan.
"Jujur saya miris sekali, miris sekali. Nah, saya sepakat sekali bahwa Undang-Undang ITE ini untuk segera direvisi, sehingga memberikan jaminan perlindungan terhadap rakyat Indonesia," ujar Nur.
Anggota Baleg Fraksi Partai Gerindra Romo HR Muhammad Syafii menjelaskan, produk undang-undang harus dapat memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Namun dalam UU ITE, ketiga hal tersebut dinilainya tak terpenuhi.
"Kenapa tadi saya bilang tidak tercapai? Dari semua yang memberikan kesaksian dalam persidangan ini, itu menunjukkan ketidakpastian hukum, semua menunjukkan ketidakadilan, dan terasa tidak bermanfaat," ujar Romo.