Kamis 29 Aug 2024 18:22 WIB

Ancang-Ancang DPR Evaluasi MK Usai Batalnya RUU Pilkada

DPR menilai MK telah mengerjakan urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

Suasana Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang.

REPUBLIKA.CO.ID, DPR Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya. Pernyataannya itu keluar setelah pekan lalu, DPR batal mengesahkan RUU Pilkada menyusul derasnya aksi unjuk rasa bertajuk Kawal Putusan MK yang masih berlangsung di berbagai daerah hingga hari ini.

“Nanti kami evaluasi posisi MK karena memang sudah seharusnya kami mengevaluasi semuanya tentang sistem, mulai dari sistem pemilu hingga sistem ketatanegaraan. Menurut saya, MK terlalu banyak urusan yang dikerjakan, yang sebetulnya bukan urusan MK," kata Doli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (29/8/2024).

Baca Juga

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, kata dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis, sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

"Di samping itu, banyak putusan-putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga,” ujar Doli.

Oleh sebab itu, ia mengatakan bahwa DPR akan mengubah hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan karena putusan MK bersifat final dan mengikat.

"Akibatnya, putusan MK memunculkan upaya politik dan upaya hukum baru yang harus diadopsi oleh peraturan teknis, seperti halnya dengan putusan kemarin. Akan tetapi, ketika DPR mau mendudukkan yang benar sesuai undang-undang, muncul demonstrasi mahasiswa dan kecurigaan,” katanya.

Ia menambahkan, “Oleh karena itu, kami perlu melakukan penyempurnaan semua sistem, baik pemilu, kelembagaan dan ketatanegaraan.”

Sebelumnya, Selasa (20/8/2024), MK mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.

Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5 hingga 10 persen.

Selanjutnya, melalui Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, harus terhitung sejak penetapan pasangan calon.

Merespons dua putusan MK terkait pilkada, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, menilai akibat putusan itu, KPU menjadi kesulitan untuk mengambil sikap. Apalagi, dalam putusan itu MK membuat tafsir baru atas undang-undang (UU).

"MK membuat bukan hanya tafsiran baru, bahkan membuat aturan baru, sehingga kemudian banyak teman-teman akademisi mengatakan, kita harus objektif, akademisi mengatakan bahwa MK sudah berubah menjadi positivism judicial," kata Bagja, Senin (26/8/2024).

Bagja menilai, lembaga peradilan sebenarnya hanya boleh memutus untuk menerima atau menolak. Dalam hal ini, MK dinilai sudah membuat aturan terkait ambang batas pencalonan oleh partai politik atau gabungan partai di Pilkada 2024.

"Jadi sebenarnya tidak boleh aktif judicial. Judicial itu tidak boleh aktif, harus pasif. Yang tidak boleh adalah menolak perkara, bukan membuat aturan," ujar dia.

 

photo
Jadwal Pilkada Serentak 2024 - (Infografis Republika)

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement