Selasa 21 Jun 2022 08:30 WIB

Putusan MK: KY tak Lagi Jadi Anggota Majelis Kehormatan MK

Setiap campur tangan lembaga negara menyebabkan tak bebasnya kekuasaan kehakiman.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan/tom.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan perkara uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK dalam perkara nomor 56/PUU-XX/2022. MK menyatakan Pasal 27A ayat 2 huruf b terkait keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dari satu orang anggota Komisi Yudisial (KY) bertentangan dengan konstitusi.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, Senin (20/6/2022).

MK pun menyatakan, Pasal 27A ayat 2 huruf b UU 7/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi Pasal 27A ayat 2 huruf b ialah; Untuk menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotannya terdiri atas: b. 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial.

MK kemudian mengoreksi ketentuan tersebut. Pasal 27A ayat 2 huruf b tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai; b. 1 (satu) orang dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun.

UU 4/2014 tentang MK juga mengatur keterlibatan KY dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Terhadap ketentuan ini, menurut Mahkamah, checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Mahkamah menjelaskan, prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum.

Mahkamah melanjutkan, dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang.

Selain itu, kewenangan lembaga peradilan untuk mengoreksi kekuasaan lembaga negara yang lain diwujudkan pula dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Sedangkan, koreksi terhadap UU dilakukan dengan memberi kewenangan kepada MK untuk melakukan pengujian terhadap UUD.

Dengan demikian, Mahkamah menilai, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya.

Dalam negara hukum, kata Mahkamah, tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

"Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindakan pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya," kata Mahkamah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement