Rabu 18 May 2022 12:48 WIB

Ahli Hukum Tata Negara: Pj Kepala Daerah Seharusnya Dipilih DPRD Bukan Pemerintah

Kewenangan penunjukan penjabat kepala daerah oleh presiden cerminkan sikap otoriter.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) mengucapkan selamat kepada lima penjabat gubernur yang didampingi istrinya usai dilantik di Kemendagri, Jakarta, Kamis (12/5/2022).
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) mengucapkan selamat kepada lima penjabat gubernur yang didampingi istrinya usai dilantik di Kemendagri, Jakarta, Kamis (12/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, pembentuk undang-undang mengabaikan ketentuan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD dalam mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang dimulai 2022 dan 2023. Dia menuturkan, kekosongan jabatan kepala daerah itu akan berlangsung lebih dari 18 bulan, sampai terpilihnya kepala daerah definitif melalui Pilkada serentak 2024.

"Saya tidak tahu ya kenapa kemudian orang mengabaikan prinsip-prinsip yang sudah ada di undang-undang, tapi kelihatannya lebih memang ke arah penguasaan terhadap penentuan siapa yang akan menjadi pj (penjabat) kepala daerah," ujar Feri saat dihubungi Republika, Selasa (17/5/2022).

Baca Juga

Ketentuan dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Partai politik (parpol) atau gabungan partai politik pengusung yang masih memiliki kursi di DPRD mengusulkan dua pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih.

Dalam hal parpol atau gabungan parpol tidak memiliki kursi di DPRD pada saat dilakukan pengisian jabatan kepala daerah, maka parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD mengusulkan pasangan calon paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi. DPRD melakukan prosespemilihan berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Sedangkan, dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 bulan, presiden menetapkan penjabat gubernur dan menteri menetapkan penjabat bupati/wali kota. Namun, dalam UU yang sama, pembentuk undang-undang mengatur, untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023, diangkat penjabat gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya dan penjabat bupati/wali kota dari jabatan pimpinan tinggi pratama.

Menurut Feri, alasan pengisian kekosongan jabatan kepala daerah lebih baik melalui DPRD karena anggota dewan dipilih rakyat dan bertugas mewakili rakyat. Sementara, kewenangan penuh dalam penunjukan penjabat kepala daerah oleh presiden dan mendagri mencerminkan sikap otoriter.

"Soal apakah partai politik punya ruang-ruang politik lain, menurut saya jauh lebih demokratis daripada ditunjuk langsung menteri dalam negeri, kesannya jauh lebih otoriter itu," kata Feri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement