REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora Fahri Hamzah mengungkapkan, ada 'jarak' antara kita sebagai warga Indonesia dengan Papua. 'Jarak' itu, sambung Fahri, bukan semata secara fisik, walau memang jarak antara Jakarta dan Papua, jauhnya sama dengan jarak dari Jakarta ke Arab Saudi.
Sehingga, kata dia, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk 'memotong' jarak itu dengan membangun infrastruktur, mengingatkannya tentang adanya jarak lainnya yang juga harus dipotong, yaitu jarak secara kejiwaan.
"Saya mengusulkan agar kita 'memotong jarak' antara kita dengan Papua secara komprehensif, fisik dan nonfisik" ujar Fahri dalam Webinar Moya Institute yang bertajuk 'Teror Menyergap Papua' yang digelar secara hibrid di Jakarta, Jumat (22/4/2022)..
Orang Papua, kata Fahri, harus diyakinkan hatinya bahwa antara mereka yang orang asli (OAP) dengan orang Indonesia lainnya adalah sama dan bersaudara secara fundamental. Sehingga, hal elementer lain yang terkait dengan itu harus dijelaskan secara masif melalui dunia pendidikan.
"Memang realitasnya, Papua bergabung dengan Indonesia dengan dasar Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, yang sudah diakui PBB. Tapi kita juga harus menceritakan pada orang Papua, bahwa daerah-daerah di Indonesia bergabung seluruhnya dengan Indonesia segera setelah Indonesia merdeka, tanpa kecuali," ucap wakil ketua DPR periode 2014-2019 tersebut.
"Kampung saya, Sumbawa, bergabung dengan NKRI tahun 1953. Raja Sumbawa kala itu, menyerahkan seluruh aset daerah ke pemerintah pusat, dan menyatakan bergabung dengan NKRI. Sehingga kami pun dikelola dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Fahri menambahkan.
Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan menjelaskan, sekitar dua tahun terakhir, pemerintah pusat sebenarnya sudah meluncurkan program Papua Muda Inspiratif, untuk memberdayakan generasi milenial Papua. Dalam program itu, pemerintah telah membangun hub yang memberi ruang bagi kaum muda Papua untuk saling berinteraksi dan berjejaring, guna mengembangkan potensi daerah di bidang perkebunan, pertanian dan perikanan.
"Terutama yang sekarang sedang menuai hasilnya itu adalah tanaman jagung. Jadi, diam-diam, generasi milenial Papua itu bergerak," kata Imron.
Dan Indonesia, sambung Imron, patut bersyukur, program tersebut didukung oleh perusahaan yang memiliki kepedulian besar pada Papua, dengan menyisihkan dana corporate social responsibility mereka, guna menopang program tersebut.
"Dan sudah ada beberapa produk dari kaum milenial Papua ini yang dipasarkan di luar negeri oleh perwakilan-perwakilan Republik Indonesia. Program ini memang tidak viral, tapi sudah melibatkan ratusan kaum milenial di Papua maupun Papua Barat," kata eks dubes Indonesia untuk Australia dan China tersebut.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto mengaku, sangat miris ketika korban terus berjatuhan sebagai akibat dari konflik yang belum reda di Papua. Korban itu juga termasuk dari kalangan TNI/Polri dan rakyat biasa. Padahal, lanjut Hery, pembangunan yang masif telah dilakukan di Papua sejak masa Pemerintahan Presiden Jokowi, baik periode pertama dan kedua.
Otonomi khusus juga terus bergulir dengan dana yang tak sedikit. Tetapi, tetap saja kekerasan di Papua belum berhenti. "Ini menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama," ujar Hery.
Baca: Prof Imron Cotan: Indonesia Bisa Tengahi Perang Rusia-Ukraina