Selasa 19 Apr 2022 15:18 WIB

Perludem: Hoaks Masif Berakibat Polarisasi Jadi Tantangan Pemilu 2024 

Polarisasi di masyarakat akibat masifnya kabar bohong atau hoaks, fitnah.

Rep: Mimi Kartika / Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, tantangan pelaksanaan Pemilu 2024 bukan hanya dari sisi elektoral saja.
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, tantangan pelaksanaan Pemilu 2024 bukan hanya dari sisi elektoral saja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, tantangan pelaksanaan Pemilu 2024 bukan hanya dari sisi elektoral saja. Salah satu tantangan itu di antaranya terjadi polarisasi di masyarakat akibat masifnya kabar bohong atau hoaks, fitnah, dan disinformasi saat pemilu. 

"Kalau disinformasi ini tidak ditanggulangi, tidak dipersiapkan, ya khawatirnya nanti justru orang tidak bisa percaya dengan kerja-kerja keras teman-teman penyelenggara pemilu," ujar Khoirunnisa dalam diskusi daring bertajuk Persiapan Pemilu: Penyelenggara Baru, Masalah Lama pada Selasa (19/4). 

Baca Juga

Dia mengatakan, pengacauan informasi menjadi satu di antara tiga bentuk gangguan terhadap hak memilih. Dua bentuk lainnya yaitu diskriminasi dalam regulasi serta intimidasi atau pengusikan. 

Dia mencontohkan, pada pemilu sebelumnya terdapat informasi yang menyatakan warga dapat memilih hanya dengan berbekal KTP elektronik. Informasi itu menyebutkan, meskipun seseorang tidak berada pada tempat tinggalnya sesuai KTP saat hari pemungutan suara, warga dapat mencoblos hanya dengan membawa KTP elektronik. 

Padahal, ketentuannya tidak semudah itu. Jika memang seseorang pada hari pemungutan suara tidak berada di tempat tinggalnya yang sesuai KTP karena alasan tertentu, warga harus mengurus surat pindah memilih sebelumnya. 

"Hal-hal ini yang mungkin berpotensi terjadi di Pemilu 2024 nanti. Karena, dengan adanya berita bohong, fitnah, disinformasi, itu ya dampak yang kita rasakan polarisasi," kata Khoirunnisa. 

Dengan demikian, kata dia, penyelenggara pemilu, masyarakat sipil, media massa, akademisi, dan elemen lainnya harus bisa merespons cepat setiap muncul hoaks dan disinformasi. Mereka mesti memberikan klarifikasi atau sanggahan secara cepat demi mencegah penyebaran disinformasi atau hoaks lebih meluas. 

Menurut dia, KPU bisa memantau perbincangan di media sosial sebagai langkah antisipasi pencegahan penyebaran hoaks dan disinformasi. Jika perbincangan yang berkembang sudah mengarah ke pengacauan informasi, maka KPU bisa langsung menghadirkan berita yang benar. 

"Di sini lah dibutuhkan akses terhadap informasi supaya publik kalau mau mencari berita yang valid, yang benar, itu ke mana, jangan-jangan selama ini bukan tidak ada berita yang validnya, berita yang benarnya, saya yakin berita itu ada tetapi tantangannya apakah publik bisa mengakses itu," tutur Khoirunnisa. 

Selain itu, peserta pemilu juga harus didesak untuk tidak menyampaikan narasi negatif saat kampanye. Narasi yang saling menyerang seperti politik identitas antarpeserta pemilu tentu memicu keterbelahan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement