Senin 18 Apr 2022 12:54 WIB

Regulasi Keterwakilan Perempuan Dinilai Masih Malu-Malu

Keterwakilan perempuan masih menggunakan kata memperhatikan daripada mewajibkan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ilham Tirta
Lambang KPU (ilustrasi).
Foto: Antara
Lambang KPU (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Ahsanul Minan mengatakan, regulasi yang mengatur afirmasi keterwakilan perempuan cenderung ambigu dan masih malu-malu. Pengaturan keterwakilan perempuan di bidang politik masih menggunakan kata memperhatikan daripada mewajibkan.

"Meskipun sudah sangat bagus mendorong keterwakilan perempuan, tetapi bahasanya terkadang masih ambigu, masih malu-malu, menggunakan frasa memperhatikan keterwakilan. Jadi belum terlalu kuat untuk mewajibkan afirmasi itu tadi," ujar Ahsanul dalam diskusi daring, Senin (18/4/2022).

Baca Juga

Contohnya, pengaturan keterwakilan perempuan untuk posisi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk penyelenggara pemilu ad hoc. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, komposisi keanggotaan KPU maupun Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Pada kenyataannya, dalam tiga periode terakhir, KPU dan Bawaslu RI hanya diisi satu orang perempuan. Menurut Ahsanul, kekhawatiran tidak adanya sumber daya menjadi alasan klasik pembentuk UU untuk tidak mewajibkan keterwakilan perempuan ini.

Padahal, kata dia, ketika regulasi itu mewajibkan, mau tidak mau sumber daya pasti disediakan, seperti supply akan mencukupi demand. Pegiat pemilu bisa saja mengadakan kaderisasi untuk bisa menghadirkan calon-calon penyelenggara pemilu perempuan, seperti program She Leads Indonesia yang diinisiasi Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia.

"Supply muncul kalau demand muncul," kata Ahsanul.

Sama seperti pada KPU pusat, rekrutmen penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota pun melibatkan pihak ketiga atau tim seleksi yang komposisinya juga harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Untuk rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu daerah tersebut, dia mendorong KPU dan Bawaslu membuat aturan teknis terkait afirmasi keterwakilan perempuan secara lebih jelas dan adil serta menjamin prosesnya berjalan transparan.

"Semakin tidak transparan, maka peluang perempuan itu akan semakin mengecil karena akan lebih mudah untuk diabaikan," kata Ahsanul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement