Senin 28 Mar 2022 17:33 WIB

LPSK Pertanyakan Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia tak Ditahan

Wakil Ketua LPSK mempertanyakan para tersangka kasus kerangkeng tidak juga ditahan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua LSPK Edwin Partogi Pasaribu memaparkan temuan timnya terkait keberadaan kerangkeng manusia. Edwin juga mempertanyakan para tersangka kasus kerangkeng tidak juga ditahan.
Foto: Republika/Febryan A
Wakil Ketua LSPK Edwin Partogi Pasaribu memaparkan temuan timnya terkait keberadaan kerangkeng manusia. Edwin juga mempertanyakan para tersangka kasus kerangkeng tidak juga ditahan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengkritik pedas Polda Sumut yang tak kunjung menahan delapan tersangka kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin (TRP). LPSK merasa ada yang janggal dengan sikap Polda Sumut dalam mengusut kasus ini.

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi merasa heran dengan Polda Sumut yang tak membuat para tersangka mendekam di tahanan. Padahal menurutnya kepolisian biasa menahan tersangka kasus lain yang tuduhannya lebih ringan.

Baca Juga

"Aneh saja sih. Perkara surat palsu, perkara ITE, perkara penipuan saja ditahan, masa perkara penyiksaan yang menyebabkan kematian nggak ditahan. Apa ini standar baru Polri? Atau gimana?" kata Edwin kepada Republika, Senin (28/3).

Edwin menyayangkan dalih kooperatif membuat para tersangka lolos dari masa penahanan. Ia mencontohkan tersangka kasus investasi ilegal yang viral baru-baru ini yaitu Indra Kesuma dan Doni Salmanan saja ditahan.

Padahal keduanya tak melakukan kekerasan langsung pada para korbannya. Adapun para tersangka kasus kerangkeng manusia diduga melakukan penyiksaan, perbudakan hingga pembunuhan.

"Harus ada evaluasi, jangan karena alasan bersikap koperatif kemudian nggak ditahan ya gimana? Contoh kasus binary option mereka koperatif datang saat dipanggil tapi mereka ditahan, mereka kasus penipuan nggak ada yang disiksa, nggak ada yang dibuat cacat," tegas Edwin.

Edwin menegaskan sikap Polda Sumut ini justru menimbulkan persepsi liar masyarakat. Diantaranya mengenai pembiaran aparat dan kuatnya pengaruh TRP. "Ini menambah persoalan baru dari kasus kerangkeng manusia. Bisa jadi buat asumsi pembiaran dari aparat masih berlangsung," ujar Edwin.

Atas dasar inilah, Edwin mendesak Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) membenahi aparat kepolisian di daerah. Ia berharap atensi dari Polri bisa membuat proses kasus ini berjalan lebih baik.

"Ada baiknya Kompolnas, Kapolri lakukan evaluasi terhadap perkara ini," ucap Edwin.

Edwin juga mengingatkan Komisi III DPR RI memperkuat fungsi pengawasan atas perkara ini. "Komisi III jadi bagian dari instrumen pengawas Polri, maka ada baiknya monitoring juga," sebut Edwin.

Sebelumnya, Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Hadi Wahyudi menyebut delapan tersangka menjalani pemeriksaan pada Jumat (25/3) hingga Sabtu (26/3). Namun hingga pemeriksaan berakhir, penahanan tak kunjung dilakukan. Mereka melengang bebas tak ditahan dengan dalih "kooperatif" selama ini.

Delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam kasus kerangkeng manusia adalah HS, IS, TS, RG, JS, DP, HG, dan SP. Tersangka yang menyebabkan korban meninggal dunia dalam proses TPPO ada tujuh orang yaitu HS, IS, TS, RG, JS, DP, dan HG.

Sedangkan tersangka penampung korban TPPO ada dua orang inisial SP dan TS. Akibat perbuatannya, para tersangka diancam hukuman 15 tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement