REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Andi Akmal Pasluddin menilai adalah sebuah ironi ketika Indonesia merupakan produsen minyak mentah kelapa sawit terbesar di dunia, tetapi mengalami kelangkaan minyak goreng. Menurutnya, ini menjadi tanda bahwa pemerintah gagal mengendalikan pasokan dan harga minyak goreng.
"Telah lebih tujuh kebijakan dalam bentuk Permendag mulai Nomor 1/2022 hingga terbaru Permendag Nomor 11/2022, tentang penetapan harga eceran tertinggi minyak goreng, pemerintah gagal mengendalikan pasokan minyak goreng dan stabilisasi harga di pasar," ujar Andi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (18/3/2022).
Pencabutan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng, kata Andi, merupakan tanda bahwa pemerintah telah kalah oleh pengusaha. Kondisi tersebut menunjukkan buruknya tata kelola industri minyak mentah kelapa sawit dan minyak goreng.
Krisis minyak goreng yang berkepanjangan berpotensi menimbulkan keresahan dan gejolak sosial masyarakat. Terlebih, Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam akan segera memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
"Tidak berdayanya kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng perlu ditelusuri lebih dalam. Sudah sedemikian akutkah persoalan yang dihadapi, sehingga kebijakan yang diambil pemerintah tidak memberikan dampak dalam menstabilkan harga dan pasokan," ujar Andi.
Di samping itu, ia menilai pemerintah telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Terutama Pasal 3 huruf d yang menyatakan, pengaturan kegiatan perdagangan bertujuan menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan.
"Maka Fraksi PKS DPR mengambil langkah politik dengan mengusulkan hak angket DPR tentang kelangkaan dan kemahalan harga minyak goreng. Serta mendorong DPR untuk membentuk pansus angket untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah," ujar Andi.
Pembentukan Pansus hak angket harus berdasarkan urgensi dan memenuhi syarat. Syarat penggunaan hak angket ini diatur dalam Pasal 199 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3).
Dalam Pasal 199 Ayat 1 berbunyi, "Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi".
Adapun hak angket adalah upaya untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak menyatakan pendapat yang merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan hak angket.