Selasa 09 Dec 2025 03:30 WIB

DPR Desak Pemerintah Perkuat Industri Pertahanan dan PT Dirgantara Indonesia

Komisi VII DPR RI mendorong pemerintah memperkuat PT Dirgantara Indonesia dan industri pertahanan nasional untuk mengatasi kendala impor bahan baku.

Rep: antara/ Red: antara
Anggota DPR minta pemerintah perkuat PTDI dan industri pertahanan.
Foto: antara
Anggota DPR minta pemerintah perkuat PTDI dan industri pertahanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, mendesak pemerintah untuk lebih agresif dalam memperkuat industri pertahanan nasional, termasuk PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/12), Novita menekankan pentingnya dukungan pemerintah untuk mengatasi hambatan impor bahan baku yang masih menjadi kendala bagi PTDI.

Menurut Novita, PTDI mengalami banyak hambatan serius terkait pemenuhan bahan baku yang sebagian besar harus diimpor. Proses impor yang berbelit, sering dipersulit dan bahkan ditolak, mengakibatkan PTDI tidak mampu menjual produk sesuai target yang direncanakan.

Novita mengungkapkan, kondisi ini tidak hanya menghambat kinerja PTDI tetapi juga berdampak negatif pada perekonomian nasional. Ia mendesak pemerintah dan instansi terkait untuk melindungi industri pertahanan dengan memastikan ketersediaan bahan baku sebagai kunci keberlanjutan produksi.

Politisi muda ini juga menyoroti minimnya investasi pemerintah dalam penguatan industri pertahanan. Ia menyatakan bahwa tanpa dukungan nyata, industri strategis seperti PTDI akan terus tertinggal dan kehilangan daya saing. "Ini salah satu alasan kami datang ke PT Dirgantara Indonesia. Kami ingin melihat langsung sejauh mana aktivitas produksi berjalan dan kendala-kendala yang dihadapi," ujarnya.

Persoalan yang Dihadapi PTDI

Dalam kunjungan tersebut, Komisi VII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat bersama jajaran PTDI, dipimpin oleh Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan. PTDI memaparkan beberapa persoalan mendasar yang mereka hadapi, di antaranya keterbatasan dukungan anggaran, permasalahan regulasi, hingga beban pajak yang dianggap terlalu tinggi.

Konten ini diolah dengan bantuan AI.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement