REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dan peneliti senior Institut Peradaban Umar Husein mempertanyakan adanya kesan pembiaran kerumunan perayaan imlek dengan festival barongsai di Bandung, Jawa Barat. Umar menilai ada perbedaan tindakan polisi dan aparat terkait kasus kerumunan perayaan imlek dengan kerumunan yang menimpa Habib Rizieq Shihab (HRS).
Pada kasus kerumunan HRS, mantan imam besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut sampai dijerat pidana. Umar meminta pemerintah dan aparat kepolisian mengklarifikasi kasus kerumunan di Bandung agar masyarakat tak curiga dan menganggap ada perlakuan tebang pilih.
Umar menilai, yang jadi masalah dalam penyikapan kasus kerumunan karena dua hal. "Perbedaan dalam menyikapi kerumunan itu bisa pertama karena orangnya dan kedua adalah kegiatannya," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (2/2/2022).
Artinya, dia melanjutkan, ketika melihat kasus keramaian pernikahan anak HRS dan keramaian saat imlek kemarin merupakan bentuk ketidakkonsistenan. Bahkan, ia menyinggung ada oknum jenderal polisi yang memiliki hajat meski jadi masalah, kasusnya tak naik ke ranah hukum. Sedangkan untuk kasus kerumunan HRS, dia melanjutkan, dijerat karena melanggar Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus Covid-19.
Ia meminta ini yang mesti diklarifikasi pemerintah mengenai kerumunan seperti apa yang bisa dikenakan delik. Pemerintah disarankan menjelaskan secara jelas agar masyarakat. "Kita tak tahu apa pertimbangannya, tetapi kenapa perlakuan terhadap kerumunan berbeda-beda," ujarnya.
Umar meminta pemerintah segera klarifikasi alasan perbedaan perlakuan terhadap kasus kerumunan. Ia khawatir kalau tak ada klarifikasi, masyarakat menduga-duga terjadi tebang pilih. "Kok sama kelompok itu begini (diperbolehkan buat kerumunan), tetapi kelompok yang satunya begitu (dilarang membuat keramaian)," katanya.
View this post on Instagram