REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrat menatap optimis Pilpres 2024 karena ketua umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi satu-satunya tokoh nasional non pejabat publik yang masuk dalam empat besar kandidat calon presiden (capres) versi survei nasional Indikator Politik Indonesia. AHY punya elektabilitas sebesar 6,8 persen dalam survei itu.
Deputi Riset dan Survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) DPP Partai Demokrat Mohammad Jibriel menyebut, kenaikan ini cukup signifikan dibandingkan hasil survei November lalu. Ketika itu, elektabilitas Ketum AHY mencapai 4,8 persen dan berada pada peringkat enam calon presiden. Sebagai calon wapres, elektabilitas Ketum AHY berada pada 9 persen, berada pada peringkat lima besar.
"Kenaikan elektabilitas ini merupakan buah kerja-kerja kepartaian yang fokus membantu rakyat menghadapi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi. Prinsip Demokrat berkoalisi dengan rakyat, diterjemahkan menjadi berbagai Gerakan Nasional Peduli Demokrat (GNPD), mulai dari tanggap bencana hingga bantuan pendidikan anak," kata Jibriel dalam keterangan pers, Senin (10/1).
Jibriel menilai, naiknya elektabilitas AHY karena Demokrat mewakili aspirasi publik, misalnya dengan menolak RUU Cipta kerja, menolak RUU Minerba dan membangun penanganan pandemi covid-19. Dia meyakini, 2024 adalah momentum pergantian kepemimpinan yang harus disambut dengan semangat perubahan dan regenerasi kepemimpinan.
"Sebagian besar penduduk Indonesia kini berusia di bawah 40 tahun, dan mereka menghendaki kepemimpinan yang bisa memahami persoalan-persoalan mereka dengan baik, jangan sampai terjadi kesenjangan generasional yang membuat pemimpin tidak 'nyambung' dengan yang dipimpin," ujar Jibriel.
Di sisi lain, Jibriel menyinggung, temuan survei ini bahwa 38,6 persen responden setuju perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Menurutnya, hal ini menjadi wake up call bagi partai untuk merapatkan barisan dengan elemen masyarakat sipil untuk menjaga prinsip dalam melaksanakan demokrasi.
"Pembatasan kekuasaan adalah keharusan menurut konstitusi dan prinsip dalam berdemokrasi," ucap Jibriel.
Jibriel juga menekankan, jabatan tiga periode tidak sesuai dengan konstitusi. Apalagi, Pasal 7 UUD 1945 tegas mengatur masa jabatan presiden hanya dua periode.
"Prinsip dalam negara yang berdemokrasi dewasa, matang dan modern adalah membatasi masa jabatan Presiden maksimal dua periode," sebut Jibriel.