Kamis 16 Dec 2021 15:04 WIB

RS Polri Siap Jadi Eksekutor Kebiri Kimia, IDI Belum Memutuskan

Pihak Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI masih membicarakannya.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Mas Alamil Huda
PB IDI masih membicarakan mengenai kesediaan Rumah Sakit (RS) Polri, Jakarta Timur, menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual. Foto: Hukuman kebiri (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
PB IDI masih membicarakan mengenai kesediaan Rumah Sakit (RS) Polri, Jakarta Timur, menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual. Foto: Hukuman kebiri (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) merespons mengenai kesediaan Rumah Sakit (RS) Polri, Jakarta Timur, menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual. Pihak Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI menyatakan masih membicarakan masalah ini.

"Dari rapat terakhir dengan MKEK PB IDI, masih berembuk dan mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya, bagaimana agar tidak ada pelanggaran etika kedokteran," ujar Anggota Dewan Pakar PB IDI Danardi Sosrosumihardjo saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (16/12).

Baca Juga

Danardi mengatakan, pihak IDI dengan pemerintah atau eksekutor belum ada kesamaan pendapat tentang siapa yang akan melakukannya. Menurut dia, kalau dokter diminta sebagai eksekutor, maka akan bertentangan dengan etika dan sumpah dokter, di mana dokter harus bertindak untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kesehatan pasiennya (azas Beneficience dan Non-Maleficence). Dalam sumpah dokter dikatakan, dokter akan menghormati setiap hidup insani sejak pembuahan.

"Sedangkan tindakan hukuman kebiri kimia adalah bersifat merusak," katanya.

Merusak dalam hal ini, kata Danardi, ketika pelaku diinjeksi zat tertentu sehingga kadar testosteronnya menurun. Diharapkan nafsu birahinya menurun. Kemudian bila nafsu birahi menurun, diharapkan keinginan seksual hilang, juga alat kelaminnya tak bisa ereksi. Terkait kemungkinan pelaku kekerasan seksual yang bisa juga mengalami depresi, pria yang berprofesi sebagai dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikiatri itu mengatakan ada dua kemungkinan.

"Bisa iya, tapi bisa juga tidak. Banyak penyebab timbulnya gangguan depresi," ujarnya.

Kendati demikian, dia menegaskan, efek kebiri kimia ini tidaklah permanen. Semua itu bergantung pada berapa lama dihukum. Misalnya jika dihukum 3 tahun maka selama 3 tahun akan mendapat suntikan secara regular agar kadar testosteronnya rendah. Setelah itu bisa pulih kembali. 

Sebelumnya, tim dokter Rumah Sakit (RS) Polri Sukanto bisa menjadi pelaksana eksekusi suntik kebiri terhadap terpidana pelaku kejahatan seksual dan asusila. Kepala RS Polri, Brigjen Asep Hendradana, mengatakan, tim dokternya, tak cuma terikat dengan sumpah profesi sebagai dokter medis dan kesehatan, namun juga terikat dengan sumpahnya sebagai anggota kepolisian, selaku pelaksana undang-undang (UU).

"RS Polri, tetap mengacu pada sumpahnya sebagai anggota (Polri), dan undang-undang sebagai perintah yang tertinggi," ujar Asep saat dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, pada Rabu (15/12). 

Asep mengatakan, tim dokter di RS Polri terbagi menjadi beberapa kategori. Dokter yang berasal dari anggota Polri, dan juga tenaga medis dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri. Mereka yang berprofesi sebagai dokter di RS Polri, namun dari kalangan sipil, pun juga terikat sumpah Korps Bhayangkara.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement