Rabu 15 Dec 2021 20:43 WIB

Dokter RS Polri Siap Jadi Eksekutor Suntik Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual

Dokter RS Polri siap menjadi eksekutor suntik kebiri pada pelaku kejahatan seksual.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Borgol. Ilustrasi.
Borgol. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim dokter Rumah Sakit (RS) Polri Sukanto bisa menjadi pelaksana eksekusi suntik kebiri terhadap terpidana pelaku kejahatan seksual dan asusila. Kepala RS Polri, Brigjen Asep Hendradana, mengatakan tim dokternya, tak cuma terikat dengan sumpah profesi sebagai dokter medis dan kesehatan, namun juga, terikat dengan sumpahnya sebagai anggota kepolisian, selaku pelaksana undang-undang (UU).

"RS Polri, tetap mengacu pada sumpahnya sebagai anggota (Polri), dan undang-undang sebagai perintah yang tertinggi," ujar Asep saat dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, pada Rabu (15/12). 

Baca Juga

Asep mengatakan, tim dokter di RS Polri terbagi menjadi beberapa kategori. Dokter yang berasal dari anggota Polri, dan juga tenaga medis dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri. Mereka yang berprofesi sebagai dokter di RS Polri, namun dari kalangan sipil, pun juga terikat sumpah Korps Bhayangkara.

"Setiap anggota Polri itu, sekalipun dia melaksanakan sumpah kedokteran, sumpah jabatannya juga harus dilaksanakan," kata Asep. 

Terkait dengan eksekusi suntik kebiri terhadap pelaku, atau terpidana kejahatan asusila, kata Asep sampai hari ini, di RS Polri belum pernah melaksanakan. Tetapi Asep menjelaskan, tim dokter RS Polri, bisa saja diperintah oleh jaksa eksekusi untuk menjadi tim eksekutor suntik kebiri. 

"Kita (RS) Polri, bisa melaksanakan itu (eksekusi suntik kebiri)," ucapnya. 

Walaupun, Asep mengatakan, jika mengacu kualitas, maupun sumber daya manusia (SDM) di kejaksaan, juga memiliki lembaga medis tersendiri, yakni RS Umum Adhyaksa. "Sebetulnya di kejaksaan, itu mereka punya rumah sakit, dan tim dokter sendiri. Bahkan mereka lebih besar dari RS Polri. Dari sana, sebenarnya sudah bisa," ujar Asep. 

Namun, Asep menerangkan, jika ada perintah berdasarkan undang-undang dari kejaksaan, agar RS Polri menjadi tim eksekutor pelaksanaan suntik kebiri tersebut, perintah itu menjadi wajib dilaksanakan oleh RS Polri. "Jadi sebetulnya jaksa bisa memerintahkan dokter kita (RS Polri) untuk pelaksanaan eksekusi tersebut," jelas Asep.

Asep mencontohkan seperti perintah jaksa yang meminta Brimob Polri untuk melaksanakan eksekusi pidana umum lainnya. Bahkan, dalam hal perintah jaksa kepada kepolisian, untuk melakukan eksekusi pidana mati. "Jadi kita, sebagai dokter, tenaga kesahatan dan juga anggota Polri, harus patuh atas perintah itu. Karena itu, undang-undang," jelasnya lagi. 

Akan tetapi, Asep melanjutkan, dalam eksekusi suntik kebiri tersebut, seharusnya menjadikan RS Adhyaksa sebagai rujukan utama bagi jaksa, untuk melaksanakan eksekusi. "Kecuali kalau di kejaksaan (RS Adhyaksa), itu tidak ada dokter pelaksana. Ya kita (RS Polri), bisa melaksanakan itu juga," katanya.

Masalah eksekusi suntik kebiri terhadap pelaku, maupun terpidana kejahatan seksual ini masih belum jelas pelaksanaannya. Padahal, dua undang-undang sudah memberikan dasar untuk itu. Pasal 81 UU 23/2002 dan UU 1/2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) menjelaskan soal pidana suntik kebiri, bagi pelaku kejahatan seksual. Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) 70/2020 menerangkan soal pelaksanaan hukuman suntik kebiri, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 

Teknis pelaksanaan tersebut, dilakukan atas dasar perintah jaksa eksekutor. Akan tetapi, dalam hal tersebut itu, kejaksaan belum memiliki pedoman teknis, yang mengatur soal otoritas mana yang dapat ditunjuk oleh jaksa untuk menjadi tim eksekusi suntik kebiri tersebut. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi tim eksekutor, untuk menjalankan perintah jaksa itu. 

Alasannya, adanya pelanggaran norma atas praktik suntik kebiri tersebut. Pun menurut IDI, eksekusi suntik kebiri, adalah bentuk penghukuman. Sedangkan peran para dokter, dikatakan IDI adalah, untuk menjalankan fungsi pelayanan medis.  

Menengok catatan, Kejaksaan Agung (Kejakgung), pun sampai saat ini, belum pernah melakukan eksekusi suntik kebiri terhadap terpidana, pelaku tindak kejahatan asusila. Padahal, sejumlah keputusan pengadilan, sudah ada yang menjatuhkan pidana suntik kebiri. Seperti kasus yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur (Jatim) 2019 yang menghukum Muh Aris, pelaku kejahatan seksual dan pemerkosaan terhadap anak-anak, dengan hukuman 12 penjara, dan suntik kebiri kimia. 

Akan tetapi, sampai saat ini eksekusi terhadap pemuda 22 tahun itu, belum dapat dieksekusi. Meskipun eksekusi suntik kebiri tersebut baru dapat dilaksanakan setelah masa pemidanaan penjara tuntas. Namun begitu, dari kejaksaan, pun belum dapat menentukan soal otoritas mana yang menjadi tim eksekutor dalam pelaksanaan eksekusi pidana suntik kebiri tersebut. 

Kejakgung, pun tak punya aturan teknis, pelaksanaan eksekusi pidana suntik kebiri tersebut. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjutak, tak menjawab ketika ditanya soal penjelasan teknis pelaksanaan Pasal 33 PP 70/2020, dan siapa yang ditunjuk jaksa untuk menjalankan perintah eksekusi pidana suntik kebiri itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement