Selasa 14 Dec 2021 00:37 WIB

KPK Tetapkan 15 Anggota DPRD Muara Enim Sebagai Tersangka Gratifikasi

KPK Tetapkan 15 Anggota DPRD Muara Enim Sebagai Tersangka Gratifikasi

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua KPK Alexander Mawarta
Foto: Republika/Thoudy Badai
Wakil Ketua KPK Alexander Mawarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 15 Anggota DPRD Kabupaten Muara Enim sebagai tersangka. Mereka terjerat dugaan korupsi penerimaan hadiah atau janji alias gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa di dinas PUPR dan pengesahan APBD Kabupaten Muara Enim tahun 2019.

"Setelah ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup disertai berbagai fakta hukum di persidangan dalam perkara dengan terdakwa Ahmad Yani dan kawan-kawan, KPK kemudian melakukan penyelidikan dan diikuti dengan meningkatkan status perkara ini ke tahap Penyidikan," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Senin (13/12).

Baca Juga

Adapun ke-15 tersangka yang ditetapkan yakni lima Anggota DPRD Kabupaten Muara Enim periode 2019 hingga 2023 yakni Agus Firmansyah, Ahmad Fauzi, Mardalena, Samudera Kelana dan Verra Erika. Sedangkan 10 tersangka lainnya adalah Anggota DPRD periode 2014 sampai 2019 yakni Daraini, Eksa Hariawan, Elison, Faizal Anwar, Hendly, Irul, Mirsan, Tjik Melan, Umam Pajri dan Willian Husin.

"Para tersangka diduga menerima pemberian uang sekitar Rp 3,3 miliar sebagai 'uang aspirasi atau uang ketuk palu' yang diberikan oleh Robi Okta Fahlevi," kata Alexander lagi.

Robi Okta Fahlevi merupakan salah satu kontraktor yang mengerjakan berbagai proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim. Kasus yang menjerat Robi Okta Fahlevi saat ini perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.

Sekitar Agustus 2019, Robi memberikan bersama dengan Elfin MZ Muhtar menemui Ahmad Yani yang saat itu menjabat bupati Muara Enim. Pertemuan dilakukan agar Robi bisa kembali mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun 2019.

Ahmad Yani kemudian memerintahkan Elfin MZ untuk aktif mengakomodir keinginan Robi. Mereka sepakat dengan adanya pemberian komitmen fee 10 persen dari nilai proyek untuk berbagai pihak yang ada di Pemkab Muara Enim dan para tersangka.

Pembagian sekaligus penentuan para pemenang proyek di Dinas PUPR diduga dilakukan oleh Elfin MZ Muhtar dan Ramlan Suryadi. Penentuan seuai arahan dan perintah dari Ahmad Yani, Juarsah, Ramlan Suryadi dan para tersangka yang saat ini ditahan agar memenangkan perusahaan milik Robi Okta Fahlevi.

Robi kemudian memenangkan beberapa proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim tahun 2019 dengan nilai kontrak mencapai Rp 129 miliar. Selanjutnya Robi melalui Elfin MZ Muhtar melakukan pembagian komitmen fee dengan jumlah beragam.

Pemberian uang oleh Robi untuk untuk para anggota DPRD diduga berjumlah total Rp 5,6 miliar. Sedangkan untuk Bupati saat itu, Ahmad Yani sekitar Rp 1,8 miliar sementara Wakil Bupati saat itu, Juarsah mendapatkan Rp 2,8 miliar.

"Penerimaan oleh para tersangka dilakukan secara bertahap dan diduga akan digunakan sebagai bagian dari biaya kampanye mengikuti pemilihan anggota DPRD Kabupaten Muara Enim tahun berikutnya," kata Alex lagi.

Untuk kepentingan penyidikan, para tersangka ditahan selama 20 hari ke depan hingga 1 Januari 2022 nanti. Mereka ditempatkan di rutan berbeda terhitung mulai Senin (13/12) ini.

Tersangka Agus Firmansyah, Ahmad Fauzi dan Daraini ditahan di rutan KPK Gedung Merah Putih. Sedangkan Elison, Faizal Anwar dan Samudera Kelana bakal menghuni rutan KPK Kavling C1.

Sementara, Eksa Hariawan, Hendly, Irul, Mirsan, Tjik Melan, Umam Pajri dan Willian Husin ditempatkan di rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur. Sementara Mardalena, dan Verra Erika ditahan di rutan Polres Jakarta Selatan.

"Agar tetap terjaga dan upaya preventif berkesinambungan dari sebaran virus Covid-19 di lingkungan Rutan KPK, para Tersangka akan dilakukan isolasi mandiri pada Rutan masing-masing," katanya.

Atas perbuatannya, Para Tersangka disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement