Rusaknya ekosistem di Batu meningkatkan potensi perubahan iklim. Selain itu, juga meningkatkan risiko bencana perubahan iklim.
Salah satu contoh konkrit adalah bencana banjir bandang yang melanda Kota Batu pada pekan lalu. Banjir terjadi karena air dari atas runoff (mengalir mengikuti pola) ke yang lebih datar dan rendah, akibat daya tampung sungai tidak mampu menampung volume air. Logika sederhana, jika air dengan deras menuju bagian bawah secara cepat, secara sains dasar kita paham bahwa ada kerusakan di wilayah atas.
Seharusnya air di atas bisa dikendalikan jika ada kawasan tangkapan dan resapan air yang mumpuni. Tetapi, karena rusak, akhirnya kawasan resapan dan tangkapan air tidak berfungsi, akibatnya air run off ke wilayah yang lebih rendah (bawah).
Di wilayah hulu sungai telah terjadi alih fungsi kawasan di sepanjang Tulungrejo hingga Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji. Alih fungsi kawasan hutan untuk pertanian dan peruntukan lain menjadi salah satu penyebab menurunnya kerja wilayah resapan dan tangkapan air.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/petugas-memindahkan-paket-sembako-bantuan-pt-rmi-mitrphol-group-di_211109150111-452.jpg)
Di atas kawasan tersebut, banyak yang menjadi lahan pertanian, salah satunya juga didorong oleh alih fungsi lahan produktif untuk wisata dan peruntukan lain, seperti hotel dan perumahan.
Dampaknya, beberapa orang mulai merambah kawasan hutan untuk dijadikan pertanian. Hal ini menunjukkan jika ada faktor ketimpangan ekonomi, khususnya akses dan kelola atas lahan sehingga mendorong ekspansi ruang pertanian baru.
Selain bahaya banjir dan longsor, serta peningkatan suhu udara, Kota Batu juga terancam krisis air. Sebab, mata air di Kota Batu tersisa 50 persen saja dengan beberapa sumber yang sudah kritis debit airnya.
Keterancaman ini diakibatkan oleh salah urus tata ruang. Tidak ada kawasan perlindungan kawasan esensial khususnya kawasan hutan, lahan hijau dan kawasan mata air. Hal ini diperparah pada Revisi Perda RTRW Kota Batu, yang di dalam Perda revisi tersebut tidak menjelaskan soal perlindungan kawasan esensial.
Perda revisi tersebut berpotensi menjadi penyebab maraknya alih fungsi dan dalam politik lingkungan disebutkan sebagai kesalahan kebijakan yang mendorong bencana. Sehingga, ke depan banjir dan aneka bencana ruang adalah tanggung jawab pemerintah, sebab Perda RTRW tidak sensitif bencana dan masa depan lingkungan hidup Kota Batu.
Bahkan, menurut Walhi, Perda ini tidak transparan dan partisipatif. Masyarakat tidak tahu menahu dan tidak dilibatkan. Kini Perda tersebut sudah di pemerintah pusat, dan yang bisa menghentikan adalah Pemkot Batu, karena kewenangan dan pengelolaan hutan berada di tangan Perhutani dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).